Minggu lalu (8 Februari 2015) di koran ini, Den Muhammad Rasyidi (DMR) menulis esai berjudul Minimal Puisi?. Tulisan tersebut, kalau Anda baca, mengkritik asosiasi seorang dosen bahwa menulis puisi itu mudah.

Pendapat DMR dalam esai tersebut menunjukkan ketidaksepakatannya dengan sangat rapi. Ya, untuk ukuran mahasiswa yang mengkritik sang dosen sangat layak. Di paragraf kelima, esai tersebut berisi sebuah apologi. Lengkapnya seperti ini: /... kalau boleh saya katakan, menulis puisi bukan sekadar menyandarkan pada imajinasi belaka, dengan bahasa yang mendayu-dayu dan haru biru. Tidak juga pada ilusi. Apa yang ditulis penyair dalam puisinya adalah dunia yang mengandung nilai filsafat dan metafisik. Bahasa yang sebenarnya ditolak oleh kaum positivisme logis karena tidak bisa diverifikasi./

Pembelaan tersebut dibuat oleh DMR tidak dengan tanpa dasar. DMR mengutip al-Quran, Zabur, Injil—semua kitab suci—serta kehidupan para filosof yang mengagungkan puisi. Tentang nilai-nilai filosofis, DMR memaparkan temuan ‘ada’-nya Martin Heideger yang menjadikan puisi sebagai rujukan pemikirannya kala itu. Sampai di situ, DMR tidak sadar, paparan argumen yang dia tawarkan tidak lagi relevan di zaman sekarang. DMR terlalu jauh menarik sejarah kesusasastraan untuk melandasi argumennya demi menolak asosiasi sang dosen. Kalau begitu, saya akan mengambil sudut pandangan yang lain. Tentang seorang dosen yang menganggap puisi mudah. Dalam posisi ini DMR tidak menyinggungnya sama sekali.

Saya sepakat puisi tidak mudah. Kata siapa menulis puisi itu mudah? Kata siapa menulis cerpen mudah, misalkan? Di ranah ini saja, kita mesti menyadari ada banyak genre dalam sastra. Sastra tidak hanya dimiliki oleh kaum intelektual, para sufi, kepala negara, dosen, mahasiswa, atau pegiat filsafat semacam DMR. DMR dalam esai tersebut telah menghilangkan peran sastra anak—baik puisi atau pun cerpen—yang tentu sangat bertolak belakang dengan argumennya bahwa puisi itu sakral, tidak hanya imajinasi belaka, bukan bahasa yang mendayu, serta mengandung nilai filsafat yang metafisik.

Kalau demikian, berarti kita harus bicara konteks. Apa yang dikatakan dosen tersebut, barangkali dalam konteks puisi anak. Barangkali juga, karena dosen tersebut melihat puisi-puisi zaman sekarang bukan lagi puisi. Tapi sepotong kata-kata yang tidak dimengerti. Artinya, esai DMR semestinya tidak harus ada, namun karena esai itu pula membuat saya punya waktu untuk mengomentarinya.

Begini, selain paparan DMR yang bagi saya terlalu jauh merunut sejarah puisi yang diagungkan di zamannya, serta korelasinya dengan zaman sekarang, rasanya perlu dicerna kembali. Era sekarang dibandingkan dengan zaman aksial. Zaman yang pada saat itu binatang yang bernama kuda belum dijinakkan, dan kambing adalah hewan gembala masyarakat kala itu. Bicara tentang kitab suci, tentu tidak relevan. Kalam Tuhan dengan kalam manusia.

***

Saya akan membuka kran sosial kalangan akademisi sastra. Perlu digaris bawahi, tidak semuanya. Jangan kaget, bahwa puisi—jenis puisi agung dalam pandangan DMR—bisa menjadi semacam makanan cepat saji. Puisi dijadikan sebuah proyek untuk kenaikan pangkat/gelar seorang dosen. Saya tidak akan menyebut beberapa nama, tetapi sebagai sebuah proyek, tentu puisi-puisi itu tidak bicara apa-apa. Buktinya, kalangan akademisi pun tidak pernah membicarakan karya tersebut dalam bentuk karya ilmiah atau pun dalam forum diskusi. Sesama akademisi, tak ada yang bicara soal agung tidaknya puisi tersebut. Kecuali si penulis ketika melakukan promosi kreativitas di depan kelas.

Sekarang, bagaimana kalau saya katakan menulis puisi itu mudah? Puisi sekarang tidak lagi sakral. Puisi sekarang tidak lagi dijadikan puji-pujian. Puisi sekarang tidak lagi sebagai aktualitas diri. Kitab suci sekalipun, sekarang tidak lagi indah bagi pembacanya. Ingatan saya kalau ingat ini terlempar kepada sosok Suryadharma Ali, seorang ulil amri, Menteri Agama RI, dari partai Islam, yang mengorupsi dana penyelenggaraan ibadah haji, atau, Fuad Amin Imron, seorang ulama besar, pengasuh pesantren, telah mengorbankan umatnya demi uang miliaran rupiah. Bagaimana kita melihat al-Quran sebagai dasar hidup orang Islam, sebuah kitab suci, serta karya yang diagungkan dan dijadikan gema puji-pujian. Kitab suci yang penuh estetika itu, puisi kita, kini menjadi musuh dalam selimut oleh pembacanya.

***

Moralitas, dibutuhkan oleh siapapun. Lebih-lebih oleh penyair, si pengarang puisi itu sendiri. Kenapa saya mendadak bicara moralitas? Tatkala teringat kembali kepada Suryadharma Ali dan Fuad Amin Imron, saya mempertanyakan moralitas mereka, ada di mana, ditaruh di sebelah mana, dan seperti apa? sebab orang-orang semacam mereka, sebagai pemimpin, perilaku mereka memiliki imbas yang buruk bagi moral bangsanya.

Katakanlah masalahnya sekarang pada mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan puisi secara langsung. Bicara Suryadharma Ali atau Fuad Amin Imron sama halnya berbicara tentang pemimpin yang kiris moralitas. Jika saya katakan di sini, seorang penyair juga harus memupuk moralitas, tak salah kiranya ketika saya beralasan bahwa puisi menjadi tidak sakral dan tidak agung karena si penyairnya. Artinya puisi akan diakui setelah puisi itu tahu akan dan sedang berbicara pada masyarakat yang motifnya seperti apa.

Bagi saya, puisi di zaman sekarang justru adalah barang yang asing. Puisi yang tidak dikenal pembacanya. Puisi yang tidak bisa dimengerti dan penuh musik kata yang gelap. Puisi akan dikenal ketika puisi itu tahu harus berbicara apa kepada masyarakat pembaca. Dengan begitu, tujuan puisi untuk mendapat tempat di masyarakatnya akan tercapai. Saya jadi teringat puji-pujian dari syairnya Abu Nawas yang judulnya al-I’tiraf (Sebuah Pengakuan). Tetapi, oleh kalangan santri, puisi itu terus dilantunkan jelang matahari terbenam. Tidak peduli apakah pengarangnya peminum anggur atau tidak.