Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat. Penyair tak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan lamunannya.
(Rene Wellek & Austen Warren)

Terdakwa dalam tulisan ini, teman saya M (25) berujar, “Tidak usah banyak-banyak menulis puisi. Buktinya, dalam setahun ini aku cuma menghasilkan satu puisi.” (Barangkali) saya percaya. Itu terlihat dari puisi-puisinya yang dalam tahun ini dimuat di majalah Horison dan Koran Tempo. Tujuh puisi di Horison dan tiga di Tempo banyak dihasilkan di tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2011 awal dia memberanikan mengirim ke media, katanya langsung dimuat di Jawa Pos. Itu bukti lagi, kalau menulis puisi jangan banyak-banyak. Setahun menghasilkan satu puisi boleh, asal bagus dan menggetarkan pembaca.

Terdakwa kedua juga teman saya F (21) mengatakan, “Aku harus produktif menulis puisi. Apa pun akan kujadikan puisi; tikus yang terlindas mobil di jalan, nyamuk yang masuk kamar, dan kegelisahanku ketika membaca buku akan kubuat puisi. Bahkan, kalau perlu tiap hari adalah puisi.” Terdakwa ketiga teman saya juga, yaitu G (34) bilang, “Motivasi orang sepertiku jelas, lihat anak langsung menulis puisi. Yah, kalau tidak anakku bakalan kelaparan. Bulsit sama mood. Itu musuh sejak kecil, kulawan saja.” Saya percaya. Puisi-puisinya selain sering dimuat di Kompas, Tempo, Horison, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, masih banyak lagi bertebaran di media lain.

Aneka ragam cara kerja penyair akan banyak kita temui ketika ngopi di kedai, silaturahim ke rumah salah seorang penyair, dilakukan dengan wawancara lewat jejaring sosial, atau ada yang tanpa diminta langsung berseloroh, tepat di hari Minggu (hari biasa sastra dipublikasikan di koran) ketika menemukan salah seorang penyair yang sangat produktif, berkomentar, “Tiap minggu ya si G ini dimuat. Padahal, puisi-puisinya tidak ngomong apa-apa.”

Bagi penulis pemula jika berhadapan dengan ciri salah seorang penyair di atas akan cenderung berpikir panjang ‘bagaimana seharusnya puisi ditulis?’ Bermacam-macam motivasi kadang melambungkan dan sering menjatuhkan. Akhirnya, si pemula mengambil jalan untuk vakum menulis. Di kamar menumpahkan kekesalannya dengan membaca buku, menikmati tidur dan nonton film. Puisi tidak jadi ditulis, padahal penyair adalah pelamun.

Sebagai pelamun, yang artinya orang yang melakukan khayalan ke mana-mana, berangan-angan yang bukan-bukan, penyair mestinya tidak berbingung-bingung ‘bagaimana seharusnya puisi ditulis?’ Tentu pelamun yang kreatif tidak sembarang merenung, terlalu baik akibatnya juga monoton. Fenomena sosial yang unik bahkan ‘menjijikkan’ dibutuhkan seseorang yang berani bergesekan dengannya. Negeri ini butuh lamunan-lamunan kreatif. Bahkan, buat aparat negara itu (yang korup) muak dengan lamunan-lamunan. Kita lihat, siapa yang bertahan; apakah pelamun atau penjahat? Kita hidup di era peperangan batin dan jiwa. Maklum Putu Oka Sukanta menulis Perjalanan Penyair (1999) yang berisi sajak-sajak kegelisahan hidup dari balik jeruji besi pada masa Orde Baru. Sepuluh tahun suara kepenyairan Putu dibuat bungkam, kebebasan dan kemanusiaannya dirampas dan tak pernah dikembalikan. Wajar jika Wiji Thukul menulis Bunga dan Tembok. Puisi yang ditulis di Solo antara tahun 1987-1988 berbunyi: seumpama bunga/kami adalah bunga yang/dirontokkan di bumi sendiri//jika kami bunga/engkau adalah tembok/tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan: engkau harus hancur!//dalam keyakinan kami/di mana pun –tirani harus tumbang! (aku masih utuh dan katakata belum binasa, 2006).

Salah satu lamunan penyair terbukti lagi pada Puisi Menolak Korupsi (2013). Ini lamunan jitu dan transparan bahwa puisi menolak kehadiran koruptor. 

Kerja penyair tampaknya masih suka bersilat pena. Acuh ‘apakah menulis bagus atau produktif’, ‘apakah yang akan ditulis bagus atau jelek’. Sebagai karya renungan, mengapa mesti berdalih harus dimuat di media lokal atau nasional, harus menghasilkan puisi tiap hari atau menghasilkan satu puisi dalam setahun. Yang jelas, tidak baik itu ketika tidak menulis sama sekali dan suka ngemeng (plesetan dari ngomong) melulu.  Saya sudah lama tidak menulis puisi. Saya berharap puisi menulis saya. Kini sudah bertahun-tahun lamanya, puisi yang menulis saya tak ada. Saya akan tetap tidak akan menulis, karena masih menunggu puisi yang menggetarkan.

Gowok, 10 Desember 2013