Bermula pada 14
Desember 2014, ketika Suara Rakyat Online menurunkan berita tentang tambak liar
yang mencemarkan lingkungan warga desa Romben Barat, Dungkek di Sumenep, kemiskinan
struktural telah menjadi darah dan daging warga desa. Warga desa yang polos,
yang tidak berpendidikan, yang hidup berlandaskan pada azas tunggal yaitu
Tuhan, telah menjadi korban keberingasan para kapitalis. Kini si tukang perdaya
itu menjelma malaikat di sana.
Seorang kapitalis
dan mampu memberdayakan masyarakat sekitar dengan memanfaatkan sumber daya
alamnya, mending. Kata ‘berdaya’ lebih tepatnya menjadi ‘perdaya’. Kekuatan personal,
kekuatan alam desa diperdayakan untuk kepentingan pribadinya. Kisahnya begini.
Seorang mandor,
berambut pendek, tubuh setinggi pohon pisang biji, kulit cokelat gelap, umur di
atas 40 tahun, beberapa waktu sebelum tiba di kampung itu, ia menyunting
perawan desa tetangga. Saya menyebutnya kalau begitu dakocan saja. Saya tidak
tahu dari mana ia berasal. Tetapi kabarnya, di telinga warga ia seorang kaya,
dan derma.
Kabar dakocan
yang menikahi perawan desa tetangga berembus. Banyak yang menyayangkan. Apa buat,
kekuasaan saat itu adalah materi, dan materi adalah kekuasaan. Kira-kira
2010-an awal semua itu bermula. Saya yang tidak tahu apa-apa tentang dakocan
ini. Sebagai anak muda, yang belum punya pikiran macam-macam, atau lebih
tepatnya, lalu lalang manusia di sekitar kita sebatas sebuah peristiwa.
Entah kenapa,
tiba-tiba, tidak jauh dari rumah saya berada, dakocan ini kemudian menjadi
seorang bos. Ia membeli tanah di muka laut dan mengunduli pohon-pohonnya. Bahkan,
dicurigai, ada makam-makam tetua kampung telah ikut juga digaruk dengan
eskafator (mobil keruk). Tetapi warga tak pernah berani memerotes. Batu-batu
besar datang mengelilingi daerah tanah yang digunduli pohonnya itu. Lalu,
batu-batu besar itu pun tiba-tiba menjadi lidah yang menjulur ke tengah laut. Di
kepala kami, itu akan menjadi tambak udang.
Tambak udang
kemudian berdiri di sebelah timur desa. Saya tidak tahu persis ukuran panjang
dan lebarnya. Tetapi, saya bisa menganalogikannya seperti lapangan sepak bola
yang ada di tempat-tempat umum. Tidak hanya
itu saja, malam ke malam, hari ke hari, warga mulai gundah dengan suara mesin
yang tak pernah mati.
Beberapa warga
mengadu pada diri sendiri. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih dulu
mereka sudah dibekap dengan sebuah sarung sebagai modus amal dan alasan-alasan
lainnya. Setiap Jumat, selepas salat di masjid, telah ada sebungkus nasi dan
segelas air mineral suguhan bos itu.
Post a Comment