Menjelang 25 Desember, selalu ada saja perdebatan
sengit perihal pengharaman terhadap ucapan Selamat Natal bagi umat muslim.
Boleh dan tidak; itulah pilihan jawabannya. Sesungguhnya, kita tidak
benar-benar tahu perihal sejarah bagaimana di antara kita dalam sewaktu-waktu
menjadi bersifat anarkis.
Kata ‘boleh’ atau ‘tidak’, belum selesai begitu
saja. Pilihan jawaban disertai rentetan alasan tentang membolehkan dan tidak
membolehkan. Jawaban dan landasan yang dipakai si pengguna itulah oleh si
pendengar dapat memicu adanya ledakan konflik. Bahasa yang dipakai oleh si
pengguna dalam komunikasi dengan si pendengar dianggap sebuah hegemoni yang
menjadi target capaian. Dan demikianlah bahasa, bagi pemakainya, bahasa adalah
kekuasaan. Inilah yang diperkenalkan Michel Foucault hubungan antara wacana,
pengetahuan dan kekuasaan.
Dalam kuliah Wacana yang diampu Prof. Dr. Zamzani,
saya diperkenalkan bagaimana bahasa itu dibentuk oleh dua person yang sedang
melakukan komunikasi. Dalam sebuah pasase tersebut, saya membenarkan apa yang
dikatakan Foucault bahwa tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan
tanpa pengetahuan. Di media sosial, facebook,
twitter misalnya ramai dengan
perbincangan seputar perayaan Natal umat Kristen. Yang jelas, kata kunci dalam
komunikasi tersebut adalah Natal,
Kristen, Islam, Haram.
Perdebatan yang terjadi tidak lama itu sudah
terjadi sejak tahun-tahun yang lalu. Semakin banyak yang mengatakan haram,
semakin banyak yang mengatakan tidak. Nash-nash digelar untuk melandasi setiap
pernyataan. Ada yang berpegang teguh pada nash saja, ada yang berpegang teguh
pada nash dan konteks, ada yang berpegang teguh pada nash dan sejarah, dan ada
yang berpegang teguh pada nash, konteks dan sejarah.
Saya akan berbicara diluar nash tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan jika konflik pada
tahun 1940-an di India meletus kembali. Kerusuhan antara Hindu-Muslim yang
dipicu oleh latar belakang agama. Saya tidak bisa membayangkan jika Pembantaian
Rwanda terulang. Konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi yang memutus
identitas kebangsaan dan kemanusiaan. Saya tidak bisa membayangkan jika konflik
Poso, konflik Ambon, konflik Dayak-Madura, Bom Bali meledak ke muka tanah. Atau,
yang paling dekat, saya tidak bisa membayangkan jika konflik Sunni-Syiah yang
terjadi di Sampang Madura dua tahun kemarin. Saya tidak bisa membayangkan jika kerusuhan
yang terjadi antar dua kubu pendukung Calon Presiden Indonesia 2014-2019
beberapa bulan yang lalu. Saya tidak bisa membayangkan jika itu semua ada di
sekitar kita saat ini.
Konflik-konflik yang terjadi karena politik
pemisahan. Konflik-konflik yang terjadi karena dibanggakannya sebuah identitas.
Konflik-konflik yang terjadi karena aku Hindu dan kamu Islam, kamu Madura dan
aku Dayak, aku Hutu dan kamu Tutsi, kamu Syiah dan aku Sunni, aku Politikus dan
kamu Linguis, kamu Partai Golok dan aku Partai Air, aku Kulit Hitam dan kamu
Kulit Putih, kamu Geng Motor Vespa dan aku Geng Motor Vixion, aku NU dan kamu
Muhammadiyah, kamu Madrid dan aku Barcelona, aku Kampung Barat Sungai dan kamu
Kampung Timur Sungai, kamu Arema dan aku Persib, lalu aku PKI dan kamu bla bla
bla.
Radhar Panca Dahana dalam bukunya Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2006) berkata bahwa kekerasan adalah salah satu ekspresi peradaban kita.
Bahkan oleh sebagian pihak, kekerasan—untuk sementara—identik dengan Islam,
agama yang kebetulan menjadi sumber identifikasi kita juga. Konflik dengan mengatasnamakan identitas tunggal bertebaran
di sekitar kita. Dalam bukunya Identity
and Violence: The Illusion of Destiny, identitas kata Amartya Sen, tidak
hanya menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, atau rasa tumbuhnya
kekuatan dan kepercayaan diri, melainkan identitas juga dapat memicu meledaknya
konflik dan membuat orang mati dengan sia-sia. Kerusuhan yang terjadi dipicu
sebab adanya pemaksaan identitas tunggal yang penuh permusuhan tersebut kepada
orang-orang awam yang digelorakan oleh para penebar teror.
Kita terkadang terlalu dungu berhadapan dengan
orang-orang yang berdiri di hadapan kita. Kita selalu menganggap ia sebagai
rakyat dan kita presiden, kita selalu menganggap ia sebagai mahasiswa dan kita
dosen, kita selalu menganggap bahwa ia dari keluarga miskin dan kita keluarga
kaya. Manusia begitu mudah dikotak-kotakkan dan diklasifikasikan tanpa memberi
perhatian bahwa setiap orang memiliki modal intelektual, akademik, moral,
identitas bahasa dan sebagainya.
Identitas di masa kini kita tali erat-erat untuk
membentuk kekuatan baru menuju masyarakat dan pribadi yang toleran. Sebagai
masyarakat yang plural, kita tentu bisa mengubah cara pandang kita terhadap
orang lain, bahwa mereka, orang selain diri kita, adalah kitab suci yang musti
agungkan.
25 Desember 2014
25 Desember 2014
Post a Comment