Menulis dengan
tidak sadar akibatnya adalah hasilnya tidak ada. Hanya akan ada bahasa yang tak
meruang, tak mewaktu. Dan ruang dan waktu itu bisu. Tokoh-tokohnya akan jadi
mayat yang dilupakan.
Cerpenku benar
kata seorang teman, nggak ngomong apa-apa, ujarnya. Tulisan itu hanya sekadar
peristiwa sepintas lalu, berkelebat, dan kehadirannya ada tapi sesungguhnya
tidak ada. Aku baru sadar sekarang Badai Laut Malam bagi Sahi Hisa tak ngomong apa-apa. Cerpen itu selesai
oleh tangan, tidak oleh pikiran. Aku membacanya kembali, dalam keadaan tenang,
dalam keadaan kepalaku kosong dan ingin mendapatkan sesuatu dari sana, tak ada,
cerpen itu tidak ngomong apa-apa. Cerpen itu kumpulan tokoh rekaan, urutan
persitiwa yang tidak jelas, latar rekaan, dan dialog-dialog kosong. Selebihnya
tak ada apa-apa.
Dalam hal bahasa,
cerpen itu tidak bisa kubela. Apa yang menarik dari bahasa yang pendek-pendek
itu, yang ditulis, pada saat aku kebingungan kalau tidak menulis aku menjadi
jumud. Kepalaku berisi kegelisahan-kegelisahan seperti itu, yang tak akan
sembuh kalau tidak dikeluarkan. Setelah keluar, kegelisahan itu hanya jadi
pelengkap hidup yang tak terbaca. Ini ada hubungannya dengan asupan kepalaku.
Baca buku. Aku
orang tertinggal, dan pemalas ketika membaca buku. Ditambah penguasaan bahasa
Inggrisku sangat buruk, aku menjadi tidak pede di depan teman-teman, ketika aku
hendak belajar, mengalami pelbagai kendala, yang kulakukan adalah menyerah,
atau ketika seorang teman menertawakanku, saat itu aku belajar reading, alih-alih dituntun ke
jalan yang benar, semua yang kulakukan jadi bahan candaan dan bully-an. Aku tidak tahu harus
berlabuh kemana. :(
Aku mau seperti Naufil Istikhari,
pembaca buku sastra yang baik, mahasiswa jurusan Psikologi, yang kutahu dia
diam-diam menginspirasi prosesku. Saat ini aku belum siap banyak ngobrol atau
diskusi dengan dia tatkala aku dalam keadaan seperti ini tidak bisa mengimbangi
kapasitas bacaan seperti yang dimiliki dia. Aku pantas bertahun-tahun dengan
sabar tidak tampil percaya diri di depan dia.
Aku menulis cerpen Seseorang Semalam oleh tabloid wanita di Semarang
dimuatnya November lalu. Aku berbicara tentang penculikan sapi oleh maling di
tempatku, sementara dalam cerpen itu tak kusebutkan kata ‘penculikan’ atau
‘maling’. Sehingga seorang teman di Solo meminta kepastian kepadaku,
“Sebenarnya apa pesan dalam cerpenmu ini?” walau terkesan konyol, bertanya
tentang pesan moral, maksud atau tujuan, setidaknya apa yang aku tulis tanpa
ditanya kepadaku orang bisa mengerti, alias tidak gagal paham. Kubangun tokoh
rekaan anak kecil di situ, berjalan ke hutan tanpa tujuan, di sana anak kecil
bersembunyi di semak belukar sepanjang malam, dalam sepanjang malam itu,
kubangun tokoh rekaan kedua, ketiga, keempat, mereka adalah maling itu,
kuungkapkan bagaimana mereka menculik sapi, kuungkapkan bagaimana membuat sapi
tidak bersuara, kuungkapkan bagaimana seorang maling tampil tidak sakral
sebagaimana yang tidak diketahui orang. Bagian ending itulah aku tidak bisa membuat jalan
yang baik. Cerpen itu seolah kubiarkan saja, tanpa memberi kepuasan kepada
pembaca.
Itulah percobaan kecilku, aku tahu itu
tidak apa-apanya, tapi aku merasa tak ada apa-apanya kalau tidak melakukan
percobaan kecil itu.
Aku sudah membacanya. Dan secara jujur, menurutku kamu salah. Kamu sekarang sudah ada apa-apanya!
\^-^/
Aku tidak percaya sama semua jenis yang namanya penulis, termasuk kamu, cerpenis muda berbakat, kata-katanya terlampau berlebihan :v
Nah, Lho! :D
Post a Comment