1/.

Seperti bahasa, seniman membentuk realitas baru. Begitu saya jawab ketika teman kelas saya bertanya “Apakah manusia termasuk bagian dari tiga filsafat seni itu sendiri, seperti benda beni, pencipta seni, dan penikmat seni?” pada suatu siang yang cerah di ruang 307 GK 1 saat presentasi matakuliah Estetika.

Kita tahu bahwa bahasa melalui metafora telah membentuk realitas  baru. Seniman, atau seorang kreator pun juga demikian. Saya ingat kata-kata Freud, seniman tidak hanya mempunyai kehidupan di realitas empiris. Seniman juga punya kehidupan imaji. Ia banyak hidup di sana. Menemukan kenikmatan. Cenderung orang lain akan menganggapnya sebagai yang “gila”.

Freud benar. Orang-orang di sekitar kita dengan mudah menghakimi mahasiswa yang demikian. Misal berambut panjang. Celananya bolong di bagian lutut. Sepatunya diinjak bagian belakang. Bajunya dekil dan lawas. Di luar pagar kampus. Misal seniman-seniman lukis, musik, teater, penyair, punya tendensi peyoratif sebagai yang “melanggar konvensi” di mata orang yang normal. Saya ingat sebuah novel karya Tom Sharpe tentang dosen yang seniman. Buku itu berjudul Wilt. Dan Misteri Rubaiyat Umar Khayam-nya Aamin Malouf sepertinya mendekati itu.

Orang-orang “gila” seperti mereka banyak berkarya. Mereka menjadi pencipta seni. Sementara mereka secara otomatis telah membentuk dirinya sebagai benda seni itu sendiri. Orang yang melakukan transfer gagasan. Gagasan kreatif yang dihasilkan melakukan komunikasi nilai dengan si penikmat.

Dalam sebuah pasase Abd. Latif penggerak Komunitas Kobhung di daerah saya Sumenep, mengadakan temu seniman dari berbagai komunitas. Tak ada masyarakat yang menghargai seniman, itu kesimpulan sementara sore itu.  Tetapi, lebih tepatnya tak ada seniman yang menghargai masyarakat. Seniman tidak pernah mau tahu kebutuhan masyarakat. Seniman dan masyarakat kemudian menemukan titik kesenjangan. Baik seniman, atau masyarakat tidak sanggup saling berkontribusi. Semestinya seniman dahulu berkontribusi. Sebagai anggota marginal di dalam masyarakat.