PUISI dan cerpen dalam buku ini kualitasnya buruk. Sebenarnya belum layak untuk dijadikan sebagai buku, apalagi, dengan adanya buku ini, si pengarang memproklamirkan dirinya sebagai penyair atau cerpenis. Si pengarang harus sadar diri dulu bahwa puisi dan cerpennya dalam buku ini, semata-mata dibukukan dalam rangka dokumentasi. Selebihnya adalah bagian dari proses kreatif.

Tahun 2010. Komunitas Persi di masa Subaidi Pratama sudah berani menerbitkan buku. Semua itu dilatarbelakangi karena begitu mudahnya orang menerbitkan buku. Meski tanpa persiapan panjang, seperti kualitas karya, edit-mengedit, sampai pada cetakan. Tahun itu, menerbitkan buku merupakan pekerjaan mulya. Sehingga sesiapa saja yang karyanya dibukukan, ia berhak menganggap dirinya sebagai sastrawan. Si pengarang tidak sadar, bahwa dunia tidak sesempit daun kelor. Si pengarang buta lingkungan, bahwa ia bagai katak dalam selokan, dan belum tahu di jauh sana ada sungai dan lautan.

Kisaran tahun 2009–2012 buku-buku sastra terbit di lingkungan pondok. Fragmen Senja kumpulan cerpen karya Lukman Mahbubi, Pelayaran Seorang Pecinta kumpulan puisi karya Subaidi Pratama, Memburu Matahari kumpulan puisi karya Khalil Tirta Anggara dan A Faruqi Munif, Lembaran yang Hilang karya Komunitas Cinta Nulis. dan Reportase yang Gagal karya siswa dan Alumni MA 1 Annuqayah. Buku-buku itu diterbitkan secara stensilan. Saya mengerti tidak semua puisi dan cerpen yang dibukukan pada saat itu karena kualitasnya baik, tetapi sebagai dokumentasi bahwa mereka pernah berkarya.

Buku sastra saat itu berkembang karena banyaknya pengarang-pengarang baru bermunculan dan diangkat oleh media yang juga makin bermunculan. Pada saat itu, mungkin juga sampai sekarang, media cetak dari buletin hingga majalah, jumlahnya kisaran puluhan bahkan ratusan. Media-media itu tidak hanya milik instansi atau lembaga, tetapi organisasi daerah, dan komunitas tak mau ketinggalan menikmati kemajuan pers. Setiap media itu selalu menyediakan ruang untuk puisi atau cerpen. Saya senang sekali. Lebih senang lagi, pada saat itu sebuah buletin milik lembaga bahasa asing juga menyediakan ruang untuk rubrik puisi bahasa Arab dan puisi bahasa Inggris. Betapa, agungnya apresiasi masyarakat pesantren terhadap sastra.

Lalu tiba masa yang ironis sekali, masa-masa itu telah lahir penyair-penyair besar, cerpenis-cerpenis besar, yang lahir dari komunitasnya sendiri dan merasa besar di tempat itu. Masa itu juga diimbangi dengan sebuah fenomena menggelitik yaitu adu cepat dimuat di media. Kalau tidak koran Radar Madura, majalah Horison (kakilangit), majalah Infitah, setidak-tidaknya pernah di majalah Muara. Horison dan Radar Madura memiliki rating tertinggi di antara Infitah dan Muara. Keduanya merupakan media luar dan susah ditembus. Lalu majalah Infitah bagi saya memiliki kontribusi terhadap kesusastraan di Annuqayah. Selain oplah yang ribuan eksemplar setiap terbit, redaktur sastranya digawangi oleh M. Faizi, maestronya puisi di Annuqayah. Saya tidak mengerti sebenarnya, mengapa majalah Muara begitu magis dan kemunculannya tiap edisi ditunggu-tunggu. Saya curiga dengan historis yang dimiliki majalah Muara. Di suatu kesempatan yang saya lupa waktunya, waktu itu di perpustakaan Annuqayah, saya mendapati majalah Muara edisi kuno. Saya menemukan karya-karya Lukman Mahbubi, Abdullah Mamber, Massuha el Arief, dan semasanya. Saya memiliki kekurangan dalam hal ingat-mengingat, tetapi saya yakin majalah Muara mempunyai peran penting dalam kesusastraan Annuqayah masa itu.

Bisakah kita mengatakan kalau kesusastraan di Annuqayah sekarang mengalami kemunduran? Saya katakan iya. Dan saya tidak mengatakan bahwa  5 tahun sebelumnya sastra mengalami perkembangan serius. Dilihat dari pelakunya, puisi dan cerpen pada masa itu tidak meninggalkan nilai-nilai pesantren, tidak meninggalkan ajaran dalam kitab-kitab. Saya pernah membaca cerpen “Selaksa Rindu Dinda” karya Hanna al-Ithriyah mengenai seorang gadis yang merindukan nabi Muhammad. Kurang lebih ceritanya demikian, saya sudah tidak menjamin berapa jumlah tokoh di sana. Saat itu saya membacanya di perpustakan MA 1 Annuqayah. Berkat cerpen itu, saya dipertemukan dengan Neng Hanna di kediamannya dalam rangka wawancara. Waktu itu, saya masih aktif di BPBA bidang Bahasa Arab. Kemudian dalam buku cerpennya “My Valentine” terbitan Gema Insani 2006, terdapat cerpen bagus dan bagi saya, Neng Hanna menulis cerpen “Dialog Alam Barzah” sangat cerdas dan berhasil menyampaikan risalah-risalah dalam kitab mengenai al ‘ilmu bila ‘amalin, kannakhli bila ghasalin.

Tahun 2010 Annida Online menerbitkan kumpulan cerpen “Sebuah Kata Rahasia” karya 12 pengarang di Indonesia. Di dalamnya cerpen berjudul “Sepenggal Kejujuran Iblis” karya Lukman Mahbubi mendapat gelar cerpen “kelas berat” dari 11 cerpen yang lain. “Kelas berat” yang redaksi dimaksud cerpen Lukman Mahbubi memakai tokoh dan sudut pandang tidak lazim. Tokoh dalam cerpen “Sepenggal Kejujuran Iblis” yaitu Nuh dan Iblis dan memakai sudut pandang orang kedua: kau-aku. Ada cerpen Lukman Mahbubi yang memakai sudut pandang orang kedua seperti di atas, seperti “Cerita Tentang Senja” tahun 2007 dan “Monolog Terakhir” tahun 2008. Saya mendapatkan cerpen itu langsung dari pengarangnya dalam sebuah diskusi rutin Ngarai Sastra Pesantren. Saya yakin banyak cerpen-cerpen Lukman Mahbubi yang belum saya baca semua. Sampai akhirnya, tahun 2011 Lukman Mahbubi kembali ke Pulau Raas dan saya berangkat ke Jogjakarta.

Cerpenis muda saat itu yang kagumi adalah Fandrik HS. Putra, sekarang namanya sebagai pengarang cerpen di media menjadi Fandrik Ahmad. Di banyak cerpenis muda di Annuqayah yang mabuk dengan tema cinta di pesantren, Fandrik Ahmad mengambil jalan yang berbeda. Cerpennya bercerita kehidupan sosial orang Madura, kebudayaannya dan mata pencahariannya, seperti “Carok” yang pada saat itu dimuat di Bangka Pos 20 November 2011, “Pemburu Matahari” dimuat tabloid Minggu Pagi 09 September 2011, “Nelayan Anak” Bangka Pos 23 Maret 2011 keduanya bercerita potret kehidupan masyakarat pesisir di Madura. Saya rasa Fandrik Ahmad cukup diperhitungkan di dalam panggung kesusastraan Annuqayah dan pers di pesantren. Dunia sosial masyarakat Madura dalam cerpen Fandrik Ahmad dinilai cukup kuat. Lebih-lebih pada cerpen-cerpennya belakangan ini di tahun 2011 ke depan. Annuqayah, daerah Lubangsa khususnya tidak pernah memperkenankan kepada santrinya yang pengarang untuk riset langsung di masyarakat. Tetapi, selama menjadi wartawan, kemudian pindah ke bagian redaktur pelaksana di majalah Muara, Fandrik Ahmad seolah-olah punya alasan banyak untuk tahu kehidupan masyarakat dengan cara terjun langsung ke lapangan. Lebih-lebih, di kampusnya, waktu itu STIKA (sekarang INSTIKA) Fandrik Ahmad bekerja sebagai wartawan majalah Fajar yang semakin memperluas cakrawala gagasa dia tentang kebudayaan Madura.

Pekerjaan menulis cerpen dan puisi pun tidak semata-mata akan mengantarkan sesiapa saja ke dunia kepenyairan. Sekalipun diakui oleh masyarakatnya sebagai penyair atau cerpenis, pada akhirnya si pengarang tidak akan terus menerus bersosialisasi dengan tokoh-tokoh rekaannya. Ini yang akan saya tawarkan kepada Komunitas Persi, bahwa segala-galanya manusia yang menciptakan puisi agung, belum tentu diterima oleh masyarakat. Apalagi puisi-puisi buruk atawa jelek yang hanya akan agung di depan kekasihnya. Menurut saya, sangat ironis dan malang sekali sesiapa saja yang demikian: menulis puisi semata-mata mendapat penghargaan dari perempuan. Lebih-lebih di lingkungan pesantren. Gelegak emosi dan api gejolak menulis puisi tidak terbendungkan lantaran lama tidak bertemu dengan situ orang.

Komunitas Persi sebagai wadah para santri pegiat sastra, akan dihadapkan dengan dunia yang gelap selama mereka tidak sadar, bahwa kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Nahsoihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al Bantani, Alfiyah karya Ibnu Malik al-Andalusi dan kitab-kitab klasik lainnya merupakan karya besar yang hanya diajarkan di pesantren. Saya menganggap kalian terjebak jika masuk di Komunitas Persi semata-mata hanya ingin menulis, bercita-cita jadi penyair, jadi cerpenis, dan bahkan tersesat. Menulis puisi-puisi cinta yang manja, puisi rindu yang tabu, yang diksi-diksinya lebih kuat lagu-lagu Evie Tamala, dan lebih puitis milik Iis Dahlia. Menulis cerpen-cerpen kesendirian, cerpen-cerpen kesedihan, pada akhirnya kalian tidak akan pernah merasakan kesedihan yang mencekik masyarakat kita, orang-orang terdekat kita, yang hidupnya dikelabui oleh si penguasa. Selama itu terjadi, Komunitas Persi selanjutnya akan memproduksi bibit-bibit orang buta pada sastra yang sesungguhnya.

Di sekitar kita, di lingkungan pondok sudah didirikan banyak peradaban. Dulu, di masa saya nyantri akses perpustakaan tidak semudah jaman sekarang, dan akses ke pintu luar pesantren tidak gampang. Saya pikir, tidak ada alasan untuk sembunyi di kolong jembatan dan diam di sana. Sastra pesantren butuh dunia luar, yaitu pengalaman-pengalaman baru demi menambah wawasan. Sebagai santri, cukup punya kekuatan untuk memperkuat bekal pelajaran kitab-kitab yang ditelaah saban hari. Di akhir catatan ini, saya ada saran, suatu saat yang tak tahu kapan waktunya, Komunitas Persi boleh menerbitkan buku dokumentasi semacam ini lagi, dengan satu catatan, perhatikan kualitas dan abaikan kuantitas. Salam.