Kuliah selesai pukul 09.00 kurang beberapa menit. Saya melangkah keluar kelas menuju perpustakaan fakultas. Dua buah buku Sebelum Telepon Berdering karya Kun Andyan Anindito ada di dalam tas. Penjaga perpustakaan tiga lelaki yang sama, dua sudah tua, satu masih muda.

Buku itu saya sodorkan. Penjaga perpustakaan muda membuat surat tanda terima. Penjaga perpustakaan yang satu ini, yang lebih tua dan rambutnya yang putih, saya kenal sejak saya kuliah di kampus. Tidak tahu datang darimana sebabnya, saya dan lelaki tua itu makin akrab. Berbicara tentang daerah saya. Berbicara tentang kota-kota lain yang ada kaitannya dengan daerah saya. Setiap kali ke perpustakaan fakultas, saya lebih banyak ngobrol dengan lelaki tua daripada membaca buku. Termasuk saat itu, lelaki tua bercerita, yang isi ceritanya meminta saya untuk meneliti sebuah bahasa yang hampir punah di daerah Jawa, tentang kerajaan-kerajaan masa lalu, tentang raja-raja hebat di masa lampau, sebagai bahan skripsi saya. Lelaki tua itu sangat perhatian. Dari saking perhatiannya, mungkin ia lupa, atau sengaja, apa yang dibicarakannya saat itu sebenarnya telah dibicarakan sebelumnya oleh lelaki itu kepada saya. Begitulah lelaki tua, tentang cerita yang terus diulang-ulang. Saya salut karena tidak pernah bosan. Kalau begini, saya ingat beberapa dosen saya yang tak jauh bedanya dengan lelaki tua. Di kelas yang sama, di tahun berikutnya, di semester berikutnya, karena dengan dosen yang sama, maka tak ada topik lain atau bahan cerita yang berbeda yang diberikan kepada mahasiswanya. Soal perpustakaan fakultas, akhirnya saya banyak tahu kapan perpustakaan fakultas ini melaksanakan pengadaan buku. Lebih banyak menerima donasi buku-buku daripada membeli buku-buku. Ada banyak buku-buku hasil donasi dari kampus-kampus lain di berbagai daerah, dari penerbit-penerbit yang baik hati, dan dari alumni kampus yang menerbitkan buku. Saya paham bagaimana kebijakan fakultas terhadap pengadaan buku di perpustakaan. Orang-orang perpustakaan manut-manut saja menerima keputusan itu. Menerima apa adanya kondisi perpustakaan, yang lebih tepatnya, dibilang gudang buku, kata salah seorang kakak angkatan.

Ya, berdasarkan hasil investigasi Buletin Aksara dan ditindaklanjuti oleh Mimesis, pengadaan buku di perpustakaan fakultas harus menunggu kebijakan dari rektorat. Salah seorang dekan yang oleh dua media itu wawancarai, mengaku kalau perpustakaan fakultas tidak boleh lebih berkembang daripada perpustakaan universitas. Maka, pagi ini saya telah ikut membantu menyumbangkan dua buah buku, titipan pengarang Sebelum Telepon Berdering. Semacam bentuk keprihatinan kalau boleh dikatakan, semacam bentuk rasa sayang kepada kampus yang telah memberikan ijazah pada mahasiswa-mahasiswanya, semacam bentuk pertanggungjawaban penulis agar bukunya dapat dibaca oleh semua orang. Dua buah buku telah diterima oleh perpustakaan fakultas.

Tinggal dua buah buku tersisa di tas. Saya melangkahkan kaki menuju perpustakaan universitas. Dengan niat dan tujuan yang sama, menyumbangkan buku kumpulan cerpen itu. Saya naik ke lantai dua, menuju ruang kepala perpustakaan. Dua orang pegawai, yang tampaknya sedang tidak sehat di hari itu, tengah menyambut saya setelah lama saya memanggil salam dan berdiri di ambang pintu. Seorang lelaki berperut tambun menerima buku itu. Atas himbauan si lelaki satunya, mulai mengetiklah ia surat tanda bukti penerimaan. Lelaki tambun itu lamban sekali mengerjakan suratnya. Saya berpikir, ini pegawai baru apa memang begitulah keadaannya. Beberapa kali oleh si lelaki satunya, si tambun diprotes soal penulisan nomor surat yang tidak dikapitalkan. 

"Dari mana ini?" tanya lelaki tambun.

"Dari saya pak. Titipan seorang teman."

Lalu mulai mengetik keyboard amat pelan. Lebih sering menggunakan tombol backspace daripada tombol abjad. Tiba-tiba keluar satu lembar dari mulut printer. 

"Coba cek. Ada kesalahan atau tidak." Lelaki satunya menyarankan. Saya mengecek sesuai permintaannya.

"Berarti kurang nama pengarangnya ya? Baik, saya tambahkan." Lelaki tambun mulai mengetik lagi. Sambil mengetik, dia mengajak saya ngobrol. Kebetulan saya diam saja sejak tadi.

"Pengarangnya ini siapa?" 

"Kakak angkatan."

"Mas semester berapa?"

"Tujuh."

"Sedang skripsi ya?"

"Inggih."

"Berarti ini pengarang buku masih mahasiswa?"

"Baru tahun kemarin lulus."

"Eh, buku kumpulan cerpen ini maksudnya dia mengumpulkan cerpen karya orang lain begitu?"

"Cerpen karya sendiri."

"Oh karya sendiri."

Saya menerima surat tanda bukti dan sebuah amplop.

"Biar rapi," celetuk lelaki tambun.

Saya melangkah keluar dan menghembuskan napas pelan-pelan. Saya merasa tidak sedang keluar dari sebuah perpustakaan. **