Perbincangan antara saya, Rozi Kembara, Kun Andyan Anindito, Reddy Suzaytz, Mohammad Farid Anshori, di tempat Mas Hasta Indriyana tidak berlangsung lama seperti biasanya kami 'ngopi' di kedai Blandongan tempat kami dulu kumpul bareng. Suasana di lingkungan rumah ayah Senopati R sangat tenang. Beda dengan Blandongan. Tak ada maksud serius kedatangan kami di tempat Mas Hasta. Tetapi, ada yang serius yang sedang terjadi pada saat itu.

"Aku mau beli bukumu, To," kata Mas Hasta. Pertanyaan ini ditujukan kepada Dito yang baru saja menerbitkan buku cerpen pertamanya bertajuk "Sebelum Telepon Berdering". Lelaki yang tingginya lebih dari kami itu, sembari mengedip-ngedipkan matanya, seolah sibuk mencari posisi resliting tas yang melingkar di bahunya.

"Oh, iya. Ini saya bawain buat Mas Hasta." Suasana menjadi tegang. Semula, saat kami masih di kontrakan, lelaki itu tidak bilang-bilang akan membawa buku.

"Ini," kata Mas Hasta. Selembar 50 ribuan disodorkan. Lelaki itu menolak. Si kecil Nino ikutan heboh menolak lembaran uang tadi. Pada akhirnya, uang itu kembali pada yang punya.

Buku "Sebelum Telepon Berdering" adalah karya yang ketiga kalinya dari alumni Jurusan PBSI FBS UNY di periode tahun 2013 ke depan. Sebelumnya terbit "Kakek dan Cerita-cerita Lainnya" karya Eko Triono, dan baru-baru ini terbit "Kastagila" karya Muhammad Qadhafi. Ketiga buku tersebut merupakan karya cerpen yang dihasilkan selama proses mereka di bangku kuliah. Meski tidak semuanya. Eko Triono, dalam suatu bincang-bincang di kontrakan Forum Kecil, akan menjadikan tradisi membukukan karya itu setiap tahunnya.

Wacana ini menarik, dan bahkan, bisa dibilang dapat memacu dan memicu proses kreatif calon-calon sarjana PBSI/BSI. 

"Itu sebuah dokumentasi. Juga sebuah karya besar di samping skripsi," kata Eko. Eko bermaksud, sebagai anak sastra, karya berupa skripsi tidaklah cukup yang di dalamnya mengulas karya orang lain. Maka, jika anak teknik lulus dengan skripsi dan mempunyai karya, maka anak sastra juga demikian: ada karya, ada skripsi.

Ibarat para nabi-nabi, utusan-utusan Tuhan di masanya, usaha ini memang tidak semudah mengalirkan air dari ketinggian tanah dan mengalir lancar ke bawah. Akan ada polemik-polemik kecil yang timbul. Bantahan-bantahan, baik berupa kritik langsung dan tidak langsung (obrolan di belakang), tidak menutup kemungkinan akan berkeliaran bak arwah-arwah gentayangan. 

Lalu, apa yang harus dilakukan ke depan? karya-karya yang sudah dibukukan tersebut, bukanlah sebuah final, melainkan terminal (pinjam istilah Budi Darma) yang kan terus mengantarkan si pengarang ke terminal satu hingga ke terminal berikutnya. Tidak lain, buku tersebut dijadikan sebuah pijakan, selain jejak proses yang patut diapresiasi.

Dunia sastra tampak mudah dan tak ada persoalan. Itu dulu, pikiran yang tebersit di pikiran siswa kelas dua SMA. Kelas tiga SMA saya suka-suka saja dengan sastra, suka ikut-ikutan menulis dan membaca. Puncak dari proses dasar itu, saya disesatkan di jalan yang benar, yaitu di Sastra Indonesia. Saya terkadung masuk ke kolam, mau tidak mau, celana saya yang basah selutut, mengharuskan saya membasahi baju dan seluruh tubuh saya. Meski toh pada akhirnya, ada bagian-bagian dari tubuh saya yang tidak basah. Saya sampai sekarang mengejar itu agar tubuh saya menjadi basah.

Usaha itu, usaha untuk membuat tradisi baru di kampus FBS, perlahan sedang berjalan. Dalam jangka waktu dekat, buku puisi Rozi Kembara akan segera terbit. Saya belum tahu apa tajuknya. Salam