KATA
Amartya Sen, hal utama dalam hidup manusia adalah tanggung jawab dalam memilih
dan menalar. Berlawanan dengan itu, kekerasan bisa terjadi akibat tumbuhnya
rasa identitas yang diandaikan bersifat kodrati sekaligus tunggal –bahkan kerap
bersifat agresif—yang dianggap melekat pada diri kita dan seolah membebani kita
dengan tuntutan yang berat (kadangkala menuntut kita bertindak kejam). Itulah
yang terjadi pada sosok perempuan yang menjadi kekasihnya si aku (tokoh) dalam
cerpen “Pulang” karya Irwan Apriansyah Segara (selanjutnya IAS).
Cerpen bernada satir sekaligus miris itu ditulis dengan keberanian-keberanian yang tanggung. Kalimat-kalimatnya belum bisa berpihak pada diri sendiri sebagai objek (korban) penindasan kebudayaan. Andai kata cerpen itu bisa dibilang sebagai bentuk perlawanan. Tapi rupanya IAS memilih untuk santun dalam bertutur, ramah dalam menegur. Simbol-simbol kesantunan dan keramahan itu terdapat pada penyebutan kata kekasih dan cintaku –yang sesekali IAS berhak memaki-maki identitas si kekasih.
Upaya cara menegur itu juga tampak pada separuh cerita ‘inti’ yang disiapkan IAS. Artinya, hal ini semakin menguatkan pendapat saya tentang cerpen “Pulang” bahwa keberanian yang timbul dari diri si pengarang belum sepenuhnya dilampiaskan (dalam kata-kata). Secara tindakan, (karena setiap manusia mempunyai jiwa seni yang berbeda-beda) dalam menanggung bentuk penindasan kebudayaan itu, si aku (tokoh) sedang dalam perjalanan menuju kampung halaman. Gaya cerita monolog seperti ini sengaja memang didistribusikan untuk travel in love remaja masa kini. Lebih tepatnya, terjebak menjadi (kata Kiswondo dalam Animal Farm) sastrawan “anggur dan rembulan”.
Kenyataan itu tidak bisa dielakkan bahwa IAS mengalami fase musim fana. Dan kondisi-kondisi semacam ini rentan membuat psikologis manusia rapuh. Tapi IAS mewujudkan dirinya tidak seperti dugaan-dugaan yang lazim terjadi (semisal bunuh diri, dan sebagainya). Itu termaktub dalam cerpen “Pulang” yang ditulisnya. Keberhasilan itu dicapai ketika si aku (tokoh) mampu mengondisikan dirinya dari realitas dan semua keindahan alam yang didapatkannya dalam perjalanan. Pencapaian itu saya baca sebagai humanisme romantis. Dalam sebuah kalimatnya IAS menulis, “Dan aku akan kembali ke kotamu, kembali mendatangimu tidak sebagai kekasih tapi sebagai lelaki yang mencintai kemanusiaan”. Ini adalah pencapaian cinta yang tinggi, cinta yang sudah sampai pada tingkatan makrifat, yang tidak dimiliki setiap orang. Padahal posisi si aku (tokoh) dalam cerita berada pada objek penindasan kebudayaan (Jawa). Mungkin sebab itulah capaian-capaian agung itu hanya dapat dicapai dalam kondisi pertaruhan ras, budaya, suku dan agama.
Selanjutnya mengapa terdapat paragraf ini? “Aku terbangun ketika sayup-sayup terdengar debur ombak di sebelah kanan dan suara lenguhan kerbau di sebelah kiri. Sepasang mataku melihat ke kanan dan kiri. Sial, rumahku kelewatan! Dua jam aku tertidur, mungkin karena pikiranku terlalu lelah.” –Sedangkan sebelum paragraf tersebut, IAS telah menuliskan lanskap alam beserta isinya dengan tangkapan mata sewaktu di dalam bus. Atau, mungkinkah ada tawaran lain bahwa cara itu merupakan teknik perpindahan latar (suasana) dan kekaburan logika?
Bisa jadi, itulah kelemahan pemakaian sudut pandang (aku-an) pertama yang sewaktu-waktu tidak bisa banyak meninggalkan diri sendiri (sebagai aku-an tokoh). Kecuali, memang ada potensi besar cerpen tersebut tetap terpelihara dari ruang cerita sekalipun tak punya alur yang konsisten. Persoalan tak punya alur yang konsisten itu saya merasa diingatkan pada cerpen Mardi Luhung di bukunya “Aku Jatuh Cinta Lagi Pada Istriku”, bahkan bisa dibilang tanpa alur. Tabik.
*dalam Forum KECIL
Post a Comment