KALIMAT Sartre yang
berbunyi “orang lain adalah neraka bagi diriku”cukup mewakili perasaan-perasaan
yang saat ini menggodam di hati saya. Bagi siapapun, selaku penulis pemula,
baik yang amatiran atau tidak. Setidaknya
saat sekarang ini, setelah saya terombang-ambing menentukan sikap bagaimana
seharusnya membentuk gaya penulisan cerpen.
Mulanya, sikap saya menulis cerpen mencoba mengikuti gaya Gabriel Garcia
Marquez. Pertama kali tersihir ketika membaca Innocent
Erendira terbitan Selasar-Surabaya.
Sehabis itu bertemu dengan Caldas yang makin membuka peluang bagaimana
mestinya menulis ala seorang wartawan. Saya menyukai gaya Marquez. Walaupun
Marquez menyukai Ernest Hemingway. Saya melakukan pembacaan nyaman ketika
membaca terjemahan The Old Man
and The Sea. Memang, karya yang dianggap sebagai cerita pendek yang sangat
panjang ini memukaunya dari seluruh keutuhan cerita. Ketegangan dan emosi
pembaca semacam saya ikut terlibat. Hemingway berhasil dalam hal ini. Dan Caldas, sisi menariknya cara
Marquez menuturkan kisahnya yang lugas dan tidak bertele-tele. Sekalipun pada
akhirnya ketegangan itu berakhir sebelum ending cerita selesai—karena pada akhirnya
novel ini berakhir sama dengan hasil liputan di El Espectador tempat Marquez bekerja sebagai
wartawan. Peristiwa itu terjadi 18 Februari 1955 hilangnya kapal perusak Caldas
milik Angkatan Laut Kolombia dalam badai Laut Karibia.
Hari-hari itu saya jalani dengan beberapa proses kreatif. Memulai menulis
dengan perasaan nyaman. Rasanya belum ada ruh Caldas yang masuk ke dalam proses itu. Saya
tidak menuntutnya. Kemudian membaca Seratus
Tahun Kesunyian yang saya
pinjam dari seorang teman—ia juara pertama dalam lomba penulisan cerpen yang
diselenggarakan di kampus. Saya sangat mengapresiasi, bacaannya lebih banyak
daripada saya, misal karya pengarang luar semacam Milan Kundera, Italo Calvino,
Isabell Alende yang saya sendiri belum baca.
Novel yang latarnya di Macondo itu menyedot daya saya untuk membuat
tulisan-tulisan seperti cerpen. Macondo sebagai kota imajiner yang dibangun
Marquez membuat saya ingin membuat pula sebuah pulau imajiner yang akan
disandingkan dengan pulau tempat saya diciptakan; Madura. Sebuah pulau yang
dalam kepala saya, manusia-manusianya mengalami tekanan mental akut. Saya akan
memberi penjelasan bahwa alasan yang tepat adalah manusia di pulau Mandura
seringkali diperlakukan sebagai manusia yang marginal, seperti orang kulit
hitam di Amerika. Oleh karena itu, saya membangun pulau imajiner satu sebagai
rival pulau Mandura, namanya Rasuta—penduduknya lebih banyak, industrinya lebih
maju dan masyarakatnya berpendidikan. Oleh karena itu, pulau Rasuta dalam
kepala saya terlebih dahulu berpenghuni ketimbang Mandura.
Kini naskah itu belum selesai. Saya baru menggarapnya sekitaran 9 halaman.
Tidak berarti saya kehilangan daya apa yang hendak saya tulis. Tetapi, pada
suatu ketika di mana tulisan saya itu dibaca seorang teman dan mendapat
tertawaan dan semacam ejekan karena menyertakan nama Macondo dalam cerpen saya.
Barangkali memang itu sebuah ejekan yang masuk kategori guyon. Tetapi lain
halnya jika saya selaku objek menerima perlakuan seperti itu. Apalagi
orang-orang yang selama ini mencaci itu selama ini telah banyak membuat wajah
saya agak sedikit panas—dengan perbuatan-perbuatannya yang sangat rasis.
Terkadang, saya tersinggung dalam posisi guyon seperti ini. Adakalanya saya
senang bisa bercandaan. Dan sampai saat ini, saya membuktikan, saya sangat
senang dengan bercandaan semacam itu, dengan mereka. [3/7]
Post a Comment