kuburmu di pinggir kampung
tinggal terlantar
sebab tak ada yang perduli
siapa kamu dulunya

bunuh dirimu sia-sia
memang
dunia ini tidak peka


PUISI ini bersifat reflektif. Mengingat fenomena yang tak lama menimpa seorang mahasiswa yang bunuh diri karena tidak bisa melunasi SPP. Sungguh pilu dunia pendidikan kita. 

Di sekitar kita, banyak sekali orang-orang yang kita cintai, teman, sahabat, kerap kali kata ‘bunuh diri’ menjadi hal biasa. Sekalipun baginya sebuah canda untuk tawa. Ucapan terkadang menuntut tindakan. Ini bisa saja terjadi. Terlebih sebuah kata, yang menuntut kejadian-kejadian yang telah dituliskan. 

Teman saya, Den Rasyidi Az menulis sebuah esai di Suara Merdeka 12 Januari 2014 berjudul “Sebab Kata Adalah Takdir”. Saya pikir, di sana sudah terpantik fenomena yang terjadi pada sastrawan Indonesia. Kata yang dianggitnya ke dalam puisi, kelak akan datang kepadanya. Misal, Rendra, atau Chairil. 

Bukan berarti, kata menjadi takdir pembunuh. Apalagi dimitoskan dari generasi ke generasi. Sebab, tujuan dari ditulisnya esai tersebut, bagi saya adalah sebagai refleksi. Seorang pengarang dari belahan dunia mana pun, dalam karangannya tak akan jauh dari kehidupan yang dialaminya. Tetapi, menulis kematian tentang dirinya, bukanlah peristiwa yang telah ia alami. Lebih tepatnya, sebagai pengandaian dan bisa jadi sebagai sesuatu yang dirindukan.

Merindukan kematian bukan kegiatan yang diharamkan. Justru, dalam sebuah kitab tasawuf pernah dijelaskan, merindukan kematian berarti rindu akan bertemunya dengan Tuhan. Artinya, ia telah siap dipanggil. Amal ibadahnya juga sudah jelas dipersiapkan baik-baik sebagai sangu kelak di akhirat.

Sajak Subagio Sastrowardoyo di atas berjudul “Dunia Kini Tidak Peka” dalam buku Simfoni Dua tahun 1999. Setelah membacanya, kejadian-kejadian di kepala terlintas. Barangkali inilah kekuatan sebuah puisi. Puisi menjadi sebuah katarsis; upaya penyadaran hidup. Semua itu, menuntun kita agar tidak selalu menjadi surat yang tak terjawab menjadi hidup/seperti burung yang tak kembali ke/ sarangnya, menggelepar entah ke pantai/mana. Judulnya “Surat” di buku yang sama.

*) buku ini hadiah dari Titi Setyoningsih, sahabat saya di Solo. Novelnya “Lolipop” (Gramedia, 2014). Kami bertemu di Taman Budaya Surakarta acara bedah kumcer "Botol-botol Berisi Senja".