MALAM ini sepasang lelaki
dan perempuan berpelukan. Tepat di depanku, di meja pertama dari sebelah utara.
Aku jadi teringat tokoh-tokoh cerpen yang ditulis Sungging Raga. Aku pelupa.
Apa ya judulnya. Aku membacanya di majalah Horison,
sekitar dua tahun lampau.
Tangan lelaki ini, yang
semula berada di pinggang si perempuan, kira-kira sudah tujuh menit lamanya.
Aku pun begitu, baru tujuh menit di meja ini. Sendirian. Setelah tujuh menit
itu, kau tahu, tangan lelaki ini tidak lagi di pinggangnya. Barangkali, karena
ia capek, jadi ia pindahkan tangan kanannya itu agak ke bawah. Kira-kira dua
jengkal dari pinggang ke bawah. Kau bisa mengukurnya sendiri. Minta teman perempuanmu
duduk di samping kananmu, lalu letakkan tanganmu di sana.
Bukan itu yang hendak aku
ceritakan. Lebih tepatnya, aku membayangkan si perempuan ini sedang dalam
masalah. Dari belakang, menunduk terus. Kadang mendongak ke atas. Ke bintang
yang redup itu. Kata-kata yang keluar beberapa saja. Kadang senyum. Lalu pias
kembali. Bayangkan, si lelaki ini tengah memberikan sebuah solusi agar masalah
yang melanda perempuan di sampingnya hilang. Ia berikan bahunya kala si
perempuan mengakhiri kalimat-kalimatnya yang sendu itu. Lalu, tangannya akan
mengelus-elus, di tempat terakhir ia bertandang.
Jadi, mereka sejak awal
di depanku duduk membelakangiku. Menghadap ke utara. Aku tidak pernah tahu
wajah keduanya. Sampai mereka pergi dari depanku. Sebab, jika aku menoleh dan
pura-pura berpapasan dengan wajah mereka, si perempuan akan kaget. Siapa yang
sedari tadi berada di belakangnya.
Post a Comment