AKU masih hidup di kota
ini. Dengan berbekal segumpal baja, yang mengeram di jantungku. Sibak bagian
yang lain dari kota ini, kau akan menemukan yang lain juga; tentang orang-orang
yang kerap kali buat hati ini pilu; mau lawan tak bisa apa-apa. Maka, aku hanya
bisa menuliskannya ke dalam kata-kata.
Aku orang kepulauan yang
jauh dari kota ini. Sebagai orang kepulauan, yang hari-harinya jauh berbeda
dengan orang-orang di kota ini. Tidak hanya itu, bahasaku dan bahasa orang di
kota ini jauh berbeda. Logatku dengan logat orang sini jelas kasarnya—ketika
aku memakai bahasa orang kota ini, atau ketika memakai bahasa nasional, tentu
aku mudah ditebak kalau aku bukan orang kota ini.
Misal. Suatu pagi aku
menelepon nomor 08181412xxx. Setelah diterima, aku langsung pada topik
pembicaraan. Berapa kamar rumah tersebut? Berapa jumlah sewa per tahunnya?
Kataku. Suara di sana, seorang perempuan, menjawab dengan lancar. Di akhir
perbincangan, suara itu menebak, “Orang Medan ya?” kujawab bukan. Karena aku
memang bukan orang Medan.
Beberapa bulan sebelum
kejadian itu, ada sebuah kisah lain. Waktu aku memoderatori dua orang pembicara
di sebuah forum bebas di kampus. Aku pun cuap-cuap. Sebagai moderator, memberi
salam, memberi sambutan kepada hadirin, memperkenalkan dua pembicara dan
seterusnya. Tentu waktu itu aku memakai bahasa nasional, tidak memakai bahasa
kota ini. Tepat ketika waktu pembicara pertama tiba, beliau langsung menebak
kalau aku bukan orang kota ini.
Aku tidak gembira ketika
orang kota ini melabeli keberadaanku sebagai orang kotaku. Itu semua
dilatarbelakangi oleh berbagai stereotipe yang dimuncul ke khalayak kalau
kotaku punya sejarah buruk dengan kota lain. Tentu, ketika menjadi isu publik,
itu tak akan mudah dihapus. Terus begitu saja bergulir tanpa henti,
manusia-manusianya pun yang lahir dan tumbuh dan punya hubungan dengan kotaku
akan dicap sebagai orang yang ‘buruk’.
Kerap kali aku menekan
dada. Bukan lapar yang menghantam perut. Itu masih bisa ditahan dengan minum
air hangat. Tetapi, ketika kata-kata pedas yang ditandaskan kepadaku, yang itu
bagian dari sejarah buruk kotaku, aku limbung dan aku hanya bertanya dalam
diri: bisakah tempatkan aku di kotamu yang menghargai betapa seburuk-buruknya
sebuah sejarah juga perlu dihargai?
Sebenarnya, aku tidak
butuh penghuni kota mana pun menghargai kotaku. Tidak. Kotaku cukup mempunyai
penghargaan dengan sendirinya, dengan kekayaan kearifan lokalnya, bahasa dan
tokoh-tokoh yang patut diteladani di dalamnya. Kotaku, yang terbentuk sudah
ribuan tahun, sejak penduduk Asia melakukan perluasan kekuasaan, sejak mereka
tiba di kotaku itu, laut adalah satu-satunya ciptaan Tuhan yang kami taklukkan.
Maka, benar ketika semua rumah di kotaku menghadap ke selatan.
Apa yang aku ungkap di
atas belum seberapa. Banyak hal yang terjadi, terutama padaku sebagai orang
baru di kota ini. Misal. Ketika aku melakukan suatu kesalahan atau kebodohan,
orang langsung mengumpat nama kotaku—kota yang banyak menelurkan sejarah buruk;
yang warga negaranya terlalu polos, dan tidak berpendidikan.
Aku menerima semua itu.
Aku menerimanya dengan segenap lapang di dada. Apapun yang terjadi tetap kota
kelahiranku. Dan umpatan-umpatan itu, tetap akan aku ingat siapa saja yang
melontarkannya di depan wajahku. Suatu saat, ia akan tahu, rasisme itu butuh
solusi untuk menumpaskannya. Ya, bisa jadi.
Post a Comment