MASYARAKAT dan buku di
zaman sekarang tidak ada batasannya. Artinya, buku bukanlah sesuatu yang asing,
dan bukan hanya milik seorang pelajar yang sedang menggantungkan cita-citanya
di ketinggian awan-gemawan.
Bagi pelajar sekolah
menengah pertama dan sederajat, membaca buku selain pelajaran adalah sebuah
sarana rekreasi. Dalam hal ini misalnya novel atau karya sastra lainnya macam
puisi atau cerita pendek. Di sinilah kita akan tahu, pembaca kategori remaja
seperti mereka menyukai buku genre apa?
Usia remaja pada umumnya
menyukai hal-hal yang up to
date. K-Pop salah satunya, yang sampai saat ini bekasnya masih terpatri
pada karakter si pelaku. Memasuki bulan Ramadhan yang akan trend adalah hijab bagi dunia perempuan.
Gejala zaman tersebut lalu berkembang dan mau tidak mau romantisme menjadi
salah satu topik yang pasti hidup di dalamnya. Tentu, selama masih manusiawi.
Dan, hal itu tidak dapat dielakkan ketika karya sastra melirik fenomena
tersebut untuk kemudian diangkat menjadi tema besar. Tidak masalah, bahkan
selain jurnalisme, sastra juga menjadi salah satu faktor yang mampu mendeteksi
gejala-gejala di masyarakat. Maka, kita akan melihat penerbitan buku-buku
sastra pop (teen literature) sangat marak dan tentu banyak melibatkan
para remaja sebagai penulisnya.
Bagi penulis dewasa yang
masih ikut perkembangan zaman akan tetap menulis sesuai selera penerbit.
Sekalipun pada suatu ketika ia harus menjadi ghost
writer. Peran penerbit di sini tidak hanya sekadar menjadi penjaga gawang
yang menerima bola. Tetapi, penerbit harus melakukan serangan. Artinya,
penerbit harus turun tangan melakukan pendekatan-pantauan dan transaksi gagasan
bersama calon pengarang. Sebab, hal itu ada hubungannya dengan selera atau cita
rasa pembaca yang berbeda. Penerbit juga telah melihat segmen pembaca bagi
setiap karya novel yang akan digarapnya.
Lahirlah penulis setiap
sepersekian detik dan menit. Hal itu membanggakan bagi kebudayaan literasi di
Indonesia. Sebab, menulis adalah tali untuk mengikat kata-kata. Dan,
keabadianlah satu-satunya yang akan menjadi milik seorang penulis. Sebut saja,
Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer.
Masa depan sastra pop
Sastra pop memiliki masa
depan yang masing-masing dijamin oleh kualitas karyanya. Wacana mengenai
keberadaan novel pop lekas punah ada benarnya ketika karya dimaksud tidak punya
wacana, hampa estetika—teks-teks garapan adalah yang mudah klise. Sehingga, tidak
salah jika suatu saat pada pergantian masa, karya tersebut tak ada artinya. Bumi Manusia adalah novel paling populer di masa
itu. Sampai sekarang karya Pram tersebut tetap menjadi bacaan wajib, baik di
dalam akademik dan nonakademik.
Pertanyaan apakah semua
penulis karyanya harus sebagus Bumi
Manusia? bukan persoalan bagus atau tidak dalam menilai karya sastra.
Penilaian bagus atau tidaknya, masih bisa dicacah dalam beberapa tataran
tertentu. Soal gagasan sebagai bagian dari cara pandang pengarangnya menjadi
tolok ukur yang utama untuk menilai kualitas karya tersebut untuk pembaca dan
bangsa di negara itu. Misalkan mengandung unsur kesejarahan dan menjadi potret
bangsa di masa itu. Selanjutnya penilaian terhadap bahasa sebagai sebuah medium
dari pikiran yang abstrak. Semua itu kemudian diakumulasi ke dalam sebuah wadah
pertanyaan, “Pentingkah karya itu dibaca?”
Novel pop menjadi tidak
penting ketika telah melewati masanya. Bahkan, menjadi tabu dan tidak memiliki
tempat yang abadi untuk ada di dalam deretan karya sastra di Indonesia.
Kecuali, sekali lagi dapat ditolong oleh cara penyampaian seorang pengarang yang
unik dan konstruktif. Semua itu dapat menjadi sesuatu yang baru di kepala
seorang pembaca. Sehingga tak ada alasan untuk dilupakan karena sudah menjadi
tamu agung di kepala. Misal novel Dadaisme dan Semusim
dan Semusim Lagi.
Di dalam The Melting Snow saya tidak menemukan apa yang disebut
saya tadi sebagai sesuatu yang baru dan menjadi tamu agung di kepala. Hamparan
kata-kata yang puitis ditemukan banyak pada awal-awal bab dan ketika sedang
memulai adegan-adegan baru. Saya sangat mengapresiasi untuk yang satu ini,
secara subjektif memang saya tahu Raedu Basha adalah seorang penyair. Wajar
jika dalam menulis prosa akan tampak lirisnya.
Kita
menjadi tahu sekarang, novel pop sasaran pembacanya adalah remaja sekolahan
yang sedang mabuk dengan trend masa kini. Mahasiswa saja
demikian—saya tidak menyebutnya sebagai demam Korea atau sejenis itu. Lebih
tepatnya persoalan selera dan satu lagi, yaitu kebutuhan. Utamanya para
cewek-cewek yang ketika membaca novel pop akan merasa dirinya telah menemukan
dunia lain yang juga “suka” terhadap trend masa kini itu. Sebagai trend masa
kini, karya novel pop macam inilah yang “gampang” hilang ditelan novel-novel
pop berikutnya, yang sedang mengeksplorasi perkembangan-perkembangan di masa
itu.
Post a Comment