JAS almamater, menjadi
kebanggan sekaligus benda yang memalukan. Misal, awal saya kuliah gemar sekali
pakai jas almamater ke kampus. Bangga jadi mahasiswa UNY dan diterima sebagai
mahasiswa berprestasi pula. Mau tak mau, memang harus bangga. Tak ada mahasiswa
yang tidak bangga jika kampusnya mampu menjanjikan masa depan mahasiswanya.
Iya. Almamater bagi saya tak jauh bedanya dengan baju polisi, yang gagah
ketika dipakai dan penuh magis. Entah benar atau tidak, baju polisi memang
membuat jantung orang-orang kampung di tempat saya hampir dibilang mau berhenti
berdetak. Polisi di rumah saya tidak hanya dikenal sebagai penegak keamanan—ia
sekaligus orang yang suka memeloroti uang masyarakat. Saya pikir, dengan cara
denda yang demikian mahalnya, itu tidak wajar sekalipun tujuannya adalah membuat
jerah masyarakat.
Saya ingat sekali, bersama teman saya yang nyantri di sebuah pondok salaf
di daerah Sumenep. Waktu itu, kami berdua hendak ke pondoknya, yang juga dekat
dengan pondok saya. Sebelum berangkat, kami memprediksikan apakah polisi hari
ini beroperasi atau tidak. Sebagai orang kampung, yang tak tahu jadwal operasi
polisi, sangat resah. Kami tak mau, gara-gara spion hanya sebelah, uang 100
ribu harus lenyap; kami tak mau, gara-gara tutup cop ban tak ada, uang 50 ribu
harus hilang di kantong; demikianlah yang terjadi. Baru hal-hal yang sepele.
Polisi di daerah saya, terkenal di masyarakat sebagai polisi diktator.
Memang seharusnya begitu. Agar jerah masyarakat, begitu prinsipnya.
Akhirnya, saya dan teman saya punya ‘bacaan khusus yang mampu bikin posang polisi. Ini tips jitu agar manusia
yang memakai baju angker itu tidak melulu merampok kami siang-siang.
Kira-kira antara baju polisi dengan almamater mahasiswa di kampung saya
begitu. Tentu, hanya mahasiswa yang bangga terhadap almamaternya yang pakai
jasnya ke mana-mana. Saya membuktikannya sendiri. Seolah-olah, ketika berkumpul
bersama teman-teman, atau berkumpul di acara tahlilan, saya punya tempat
tersendiri. Bangga sekaligus rikuh.
Akhirnya saya sekarang sudah semester 6, dengan harapan semester kali ini
nilai-nilai saya dapat mendongkrak nilai-nilai sebelumnya yang kecil. Sebuah
upaya agar bisa cumlaude tentu perlu ditingkatkan secara
bertahap, seperti militansi kita terhadap kampus. Di lingkaran teman-teman
saya, jas almamater kampus saya tidak selalu dibanggakan. Ada beberapa
kekecewaan yang kami dapatkan selama kuliah di kampus saya, misal pencitraan
yang terlampau gencar sehingga meninggalkan aspek-aspek lain yang sebenarnya
perlu banyak dibenahi oleh kampus saya. Saya pernah pernah bertanya ini kepada
dosen saya, Dr. Nurhadi, pimred Majalah Pewara Dinamika. Beliau pun
membenarkan. Sehingga, kata beliau, perlu adanya media yang menyejajari majalah
yang disetirnya itu. Majalah Ekspresi dalam hal ini perlu disebut, produk
mahasiswa.
Saya ingin berceloteh soal kekecewaan saya terhadap kampus ini. Kabarnya,
kampus saya mengapresiasi mahasiswanya yang menulis di media massa dan
menyantumkan nama kampusnya. Bentuk apresiasi tersebut berupa royalti. Ini
sudah lama berlaku, dan tidak hanya kepada mahasiswa, tetapi juga untuk dosen.
Dalam hal ini, dosen saya, Dr. Suroso sering mendapat royalti pada masa itu.
Sekarang semua itu diam-diam tidak berlaku. Saya tiga kali telah
mencobanya. Pertama kali, koran yang memuat cerpen saya bawa waktu itu ditolak
lantaran bukan karya ilmiah yang dimuat di sebuah jurnal. Pulang saya. Dan
mencari tahu soal kebenaran itu lagi. Ternyata, semua itu berlaku di semua
genre tulisan, baik nonfiksi dan fiksi. Suatu hari, datanglah saya dengan
membawa sebuah esai yang dimuat di sebuah koran. Ini karya ilmiah sekarang,
gumam saya waktu itu. Usaha yang kedua kalinya itu kembali ditolak lantaran
masa jabatan rektor waktu itu dalam masa tenggang. Melangganglah saya dengan
hati yang diamuk kecewa. Mulanya saya sangat berharap dapat royalti dari
tulisan yang saya tulis dan menyertakan nama kampus saya itu. Apa hasil? Yah,
begitulah.
Mendekati Pilpres ini saya mulai menaruh cinta terhadap jas almamater
kampus. Hati saya bagai digodam palu bergigi sepuluh. Saya mendapati secara
tidak sengaja seorang mahasiswa di fakultas saya tengah kampanye politik
menggunakan jas almamater. Saya kaget dan hampir tidak percaya. Jaman sekarang
begitu ‘lugu’-nya si fulan. Atau, memang tidak pernah mau tahu aturan kampanye
yang sedang berkoar-koar meneriakkan kandidat presidennya itu? Si fulan saya
pikir orang yang lebih pintar, berprestasi, alim ketimbang saya. Ia adalah
kandidat ketua Bem Fakultas yang gagal di periode 2013-2014 ini.
Apa kemudian? Tak lama, hari ini kembali saya mendapati foto seorang teman
kelas tengah berlaku demikian. Saya merasa terhina sekali sebab saya sadar, ia
adalah orang yang saya hormati sejak kenal di kelas. Predikatnya bagus. Dan
menurut saya, ia tipe mahasiswa sastra yang tidak kebanyakan; aneh, dekil,
kumal, lalai dan tidak segar.
Ini persoalan bagaimana cara kita berpikir dengan menggunakan isi dada dan
logika. Persoalan kesadaran apakah kita sempat berpikir jas almamater pantas
dipakai demi meraup massa kampanye politik. Ini persoalan saya yang tengah
sakit hati saja; persoalan sebagai mahasiswa sastra yang setiap hari membaca
karya sastra kanon, sampai saat ini dirasa tak ada imbasnya apa-apa.[]
Post a Comment