Suatu hari, dalam bayanganku ada seorang teman bermain ke kamarku yang mempunyai jendela menghadap ke kuburan, kandang itik, kandang sapi dan sungai yang letaknya jauh. Dia adalah teman baikku. Dia adalah pembaca yang baik, karya yang ditulisnya juga baik. Kebetulan aku dan dia sedang getol-getolnya belajar menulis cerpen. Maka bertanyalah dia:

“Sudah baca ini?” dia mengambil Metamorfosis dari rak buku, sebuah kumpulan cerpen karya Franz Kafka penulis kelahiran Praha di wilayah Austro-Hongaria. Buku ini bagus. Seorang temanku yang lain, karena saking gilanya sama buku ini, dia mengetik kembali cerpen Kafka ini, agar tak ada yang terlewatkan ketika membacanya, agar selalu ada di kepala. Maka, dia mengetiknya.

“Belum,” kataku.

“Kalau ini?” diambilnya kembali Sebuah Rumah untuk Tuan Biswas.

“Belum juga.” Aku tidak sedang berbohong.

“Semua buku-buku Pram belum pernah kubaca. Lihat, aku baru membeli Larasati, Bukan Pasar Malam, Jalan Raya Pos, Jalan Raya Deandels dan Bumi Manusia yang bajakan. Aku baru beberapa hari menyediakannya karena secara kebetulan beasiswaku turun,” tambahku.

Selama ini aku belajar mengatur jadwal bacaku. Memilih buku-buku yang wajib kubaca, kusediakan dan kubaca di bulan yang sudah kujadwalkan. Tapi semua itu dapat berubah begitu saja. Bacaan yang sudah kujadwalkan tidak jadi kubaca. Aku membaca buku lain dari seorang teman yang menurutku itu lebih menarik dan wajib. Atau, aku akan membacanya karena aku suka dan isi dalam buku tersebut sesuai dengan yang aku inginkan. Akhirnya, buku-buku wajib yang sudah aku siapkan hanya terpajang di rak, menunggu giliran dibaca.

Dalam posisi seperti ini aku mempunyai alasan. Baiklah, aku akan memberikan sebuah konteks. Terkadang aku bingung. Jadi begini. Pernah aku membaca dengan getol buku-buku bagus yang disarankan oleh seorang teman. Aku membacanya dengan nikmat. Berhasil dan bersyukur aku dapat menikmati isi ceritanya. Kemudian membaca buku-buku bagus dari penulis luar Indonesia. Beberapa menarik dan beberapa tidak menarik. Bahkan, terkadang aku lebih memilih buku yang tidak pernah dibeli teman-teman karena buku itu atau penulisnya belum atau tidak pernah meraih penghargaan apa pun. Aku bukan seorang temanku yang mempunyai prinsip seperti ini. Kalau ke toko buku, dia akan bertanya kepada penjualnya. “Apakah buku ini pernah menang Nobel Sastra? Atau “Apakah buku ini punya sejarah di bidang penghargaan sayembara?” atau begini, “Ada buku karangan para pemenang Nobel Sastra?” aku mempunyai kecenderungan yang lain, membaca buku kalau isinya menarik. Sebuah Rumah untuk Tuan Biswas karya Vidiadhar Surajprasad Naipaul aku membelinya karena punya uang waktu itu. Dan aku membaca lima lembar dari halaman pertama. Setelah dipikir-pikir, bukankah ketika aku membaca buku yang sama, aku akan mendapatkan hasil bacaan yang sama dengan temanku. Konsekuensinya adalah ketika berkumpul dengan teman-teman dan mengobrol seputar bacaan mereka, aku hanya akan melongo dan tidak mengerti topik obrolan mereka.

Ada yang lebih bagus. Ini berhubungan dengan kekuatan membaca. Bacalah buku-buku yang disarankan oleh siapa pun, bacalah buku yang tidak pernah dibaca oleh teman-teman kita, dan rasakan… Betapa aku juga berpikir seperti itu, membayangkan dan apa yang akan terjadi…

Di sisi lain, aku suka menulis. Seorang teman bilang, yang juga sebenarnya mendengar dari temannya, “Pernah tidak kamu buntu menulis?” aku menjawab iya waktu itu. “Menurutmu kenapa?” Karena aku kurang baca mungkin, kurang peka terhadap sekitar, jawabku. “Iya, man. Dan jangan hanya baca buku-buku fiksi. Baca buku pemikiran. Kamu menulis buntu karena tidak ada yang bisa kamu tuangkan.” Benar, aku sepakat dengan temanku.

Kasus ini terjadi sama aku. Sering kali bila kebanyakan makan buku-buku fiksi, cerpen atau novel, dalam posisi ini aku sedang menulis, yang terjadi adalah kebanyakan cerpen yang aku tulis banyak berfantasi dan tidak ada isi ceritanya. Kadang ngawur sendiri. Bahkan, aku mendapatinya pada suatu hari setelah aku endapkan, aku tidak mengerti dan merasa bosan. Maka aku mencoba membaca buku yang lain, semisal Menabur Kharisma Menuai Kuasa karya Abdur Rozaki, Satu Dusun Tiga Masjid karya Ahmad Salehudin, esai-esai A.S. Laksana dan Budi Darma. Masing-masing berdampak berbeda. Sepertinya, aku harus memberikan jadwal, kapan aku membaca lalu menulis, kapan aku membaca dan membaca, kapan aku menulis lalu membaca…

Saat ini aku berhadapan dengan cerpen seorang teman di pondok, lebih tepatnya adik kelasku, atau, lebih tepat lagi dia adalah anggota Komunitas Persi, sebuah wadah yang pernah membimbingku selama dua tahun di Annuqayah. Sebenarnya, tidak hanya sekarang aku berhadapan dengan karya-karya teman Persi, entah cerpen atau puisi. Maka aku berkomentar apa adanya, dan sekarang mereka mengirim cerpen karya Zainullah.

Zain, begitu aku akan memanggil namamu di sini, Zain begitu bagus untuk ukuran karangan fiksi, dan Zainullah begitu kharisma untuk ukuran penyair sufi.

Cerpenmu yang berjudul Amnesia ini aku baca setelah tugas kuliahku rampung. Sebenarnya belum rampung semua, tinggal satu, tapi karena aku belum siap mengerjakan tugas kuliah itu, maka aku menyiapkan diri menghadapi tugasku untukmu. Dan ini, bagian dari tugas kuliahku juga… Cerpen ini seperti truk yang memuat batu bata dengan ukuran yang berlebihan. Jalannya yang pelan, terseok-seok, beruntung batunya tidak jatuh dan disoraki anak-anak sepanjang jalan. Truk itu adalah cerpenmu, sebagai perangkat dari ide yang kamu usung. Dan batu itu adalah gagasanmu yang sedang menunggangi truk itu. Sedangkan sopirnya adalah kamu sebagai penulis yang goblok.

Kamu mengangkat tema tentang kebudayaan membatik di Madura yang mulai punah. Melalui cerita tokoh Reza yang ketemu dengan seorang perempuan di pantai. Reza berkali-kali menanyai nama perempuan itu. Tapi si perempuan tidak menggubris. Bahkan, matanya mulai menampakkan kesedihan yang larut. Sementara tokoh Reza tidak mengerti kesedihan itu. Terus seperti itu, mengajak berkenalan, memaksa dan seterusnya. Jawaban-jawaban yang keluar dari tokoh perempuanmu itu sebenarnya yang menjadi masalah. Lihat:

“Kau pernah berjanji padaku. Dulu, ketika kita masih kecil, kita suka batik bahkan kita sering belajar membuat batik pada nenekku, dari itu kau berjanji tak akan lupa, tak akan meninggalkan budaya batik yang sangat kita cintai bersama” ceritamu waktu itu, berusaha mengingatkanku akan peristiwa dulu. Kutengadahkan wajahku ke atas, menatap langit yang berhiaskan lalu lalang gumpalan awan dan berusaha untuk mengingat masa silam

“Bahkan, kepadaku kau lupa. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya, Reza. Kau lebih perhatian pada mereka. Mereka yang selalu membuaimu dengan dunia-dunia maya, hingga kau pun lupa dengan janjimu yang kau ucapkan dahulu kala” kata-katamu sungguh membuatku bingung, namun aku hanya bisa mendengarkan dan diam seribu bahasa.

Cuplikan ini sudah melalui editan EYD dariku. Lihat ini lagi, Zain. Aku mual dengan dialog dalam cerita seperti ini:

“Sudah terlalu banyak orang yang tidak peduli atau pun lupa dengan budayanya, budaya batik khas Madura. Akankah kau juga harus bernasib sama seperti mereka?”

Yang akan aku sampaikan adalah dialog cerpen semacam ini memualkan. Tidak komunikatif dan tidak sewajarnya dimiliki oleh karakter tokoh dalam cerpenmu, bahkan cerpen apa pun. Akibatnya, cerpen ini juga mengalami hal yang sama, membuat orang lekas muak. Cerpen ini terlalu menggurui. Kesannya didaktif. Cerpen adalah cerita pendek, sebuah cerita yang akan menyampaikan sesuatu. Tetapi, bukan berarti sesuatu itu di dalamnya disampaikan dengan cara yang gamblang. Lewat watak tokoh, lewat karakter tokoh, lewat perilaku tokoh, lewat satu tokoh dengan tokoh yang lain, gagasanmu tentang punahnya budaya membatik dapat terkatakan. Saat ini aku rekomendasikan kamu baca Ziarah Bagi yang Hidup karya Raudal Tanjung Banua, Mata Blater karya Mahwi Air Tawar, atau Kupu-kupu Bersayap Gelap karya Puthut Ea.

Begitulah, Zain. Begitu pun dengan aku. Aku masih belajar menulis cerpen yang tidak menggurui. Belajar menulis cerpen yang bersuara dengan sendirinya tanpa aku (sebagai pengarang) yang mengatakannya. Untuk kali ini, aku menghargai tema yang kamu angkat. Dan dalamilah tema itu, kamu harus menyatu dengan orang-orang di sekitarmu. Kamu harus tahu kultur para pembatik. Kamu harus tahu kehidupan sosial seorang pembatik. Pada akhirnya kamu akan tahu bagaimana kamu memperlakukan tokoh-tokohmu untuk mencintai budaya membatik. Oh iya, kata ini yang benar adalah berembus bukan berhembus. Berasal dari kata embus. Semoga kamus dan al-Qur’an dapat membimbingmu. ***