Keluar dari kamar kos,
aku mendapati tangga yang menuju ke kamar mandi berwarna putih polos. Aku
kaget. Aku pikir ini adalah salju yang sering membungkus hari-hari orang
Hongkong. Aku juga mendapati langit masih suasana malam. Padahal jam di
ponselku menunjukkan pukul 06.06 wib.
Gunung Kelud mengeluarkan
hujan debu yang panas sejak Senin (10/2) lalu. Kabar tentang gunung Kelud
kudapat setelah mengikuti kuliah jurnalistik oleh Dr. Suroso kemarin Kamis
(13/2). Aku tidak berlangganan surat kabar semacam Jawa Pos atau Kompas,
sebagai koran harian nasional. Aku tidak punya televisi sebagai penyalur
informasi. Aku punya radio, lebih tepatnya aku membawa radio dari rumah sewaktu
liburan Maulid bulan Januari 2014 lalu. Tetapi, radio itu kuamankan di balik
rak buku karena rusak. Tempat kabelnya jebol. Aku menekannya pada suatu hari
yang lalu terlalu keras. Aku juga mempunyai ponsel yang bisa diandalkan untuk
mendapatkan sinyal radio. Tetapi aku masih anak muda, tidak mudah memperlakukan
sebuah ponsel sebagai macam mainan. Aku sayang sekali sama baterinya.
Menurut oretan hasil
kuliah jurnalistik kemarin, para relawan gunung Kelud baru mampu mengevakuasi
6000 penghuni ke barak penampungan. Itu artinya, masih banyak warga Kediri dan
sekitarnya yang belum dilarikan ke tempat yang layak. Aku membayangkan tiga
orang temanku yang pulang semalam menuju Guluk-Guluk akan terjebak di jalan
karena erupsi gunung Kelud ini. Mereka pasti kerepotan dengan empat kardus
berisi buku-buku jika harus keluar dari bus. Jalanan pasti tidak stabil. Hujan
abu vulkanik akan mengganggu laju kendaraan roda atau roda empat.
Kubuka jendela kamar. Aku
melihat abu berwarna putih vanila itu makin deras. Kandang sapi yang di
dalamnya juga kandang bebek, gentingnya menjadi putih polos. Debu itu pasti
tebal. Sapi di dalamnya tidak melenguh. Begitupun dengan bebek. Binatang itu
pasti menduga kalau hari masihlah malam. Atau, jangan-jangan banyak warga Gowok
juga belum terbangun karena tak ada matahari bangkit dari timur. Pagi ini di
sekitarku tak ada aktivitas seperti biasanya…
Bagaimana dengan laut?
Aku ingat ayah. Tetapi beruntung hari ini ayah tidak melaut karena aku tahu
hari libur baginya adalah Jumat. Kucari kontak bertuliskan “Epak Estoh”.
Kupanggil dan masuk. Ayah bilang dia berada di laut bersama kawan sesampan.
Hujan abu Kediri belum tiba di Dungkek, atau barangkali sepanjang pulau Madura.
Malah, kata ayah di rumah sering terjadi hujan air dan anginnya. Itu berarti,
petanda bagi nelayan kalau sebentar lagi waktunya ajurung, musim ikan kendui dan
teri.
Jumat 14 Februari 2014
Post a Comment