Hampir tidak seperti biasanya. Dinding bambu mengepung. Meja dan kursi
bambu pun berbaris seperti barisan tempat duduk dalam gerbong kereta. Sepanjang
mata menjelajah, hanya deretan orang yang duduk sambil menatap layar monitor
dan jemari yang sibuk menari di atas toots
keyboard. Dua orang kawan dihadapanku pun seolah menjadi asing gara-gara
layar monitor yang mungkin sedang merogoh ingatan mereka sehingga keduanya diam
mematung demi layar sialan itu. Cahaya lampu yang remang dari beberapa neon
yang menggantung mendukung suasana yang tak semakin akrab. Di luar
dinding-dinding bambu ini, suara knalpot motor hilir mudik silih berganti
menyesaki ruang parkir. Suasana bertambah riuh pula, dihujani canda tawa
lelaki-perempuan yang satu per satu memasuki dinding-dinding bambu.
Malam minggu. Tentu saja kukatakan tidak seprti biasanya.
Jika malam-malam sebelumnya kuhabiskan di kamar dengan setumpuk tugas atau membaca
novel-novel kesukaanku, maka malam ini berbeda. Berbeda? Ya. Dua orang lelaki
dihadapanku. Di sebuah bangsal yang dikepung dinding bambu. Satu dari mereka
berambut keriting, jika boleh ku katakan mirip penyanyi rock jaman dulu, Ahmad
Albar. Seorang lagi berdarah Madura yang selalu kukatakan, “Bahasamu nggak ada di kamus.”
Post a Comment