Kuliah di jurusan Sastra, di dalam benak seorang anak SMA
adalah pilihan yang gampang. Pengalaman tersebut saya alami 5 tahun yang lalu,
sewaktu duduk di bangku kelas 3 Madrasah Aliyah, pada saat yang sama banyak
teman-teman saling bertanya ke mana akan melanjutkan, dan apa jurusan yang akan
diambil. Merasa diri tidak punya kapasitas dalam bidang eksak, hal pertama yang
terlintas adalah bahasa Indonesia. Bukankah saat itu aku bisa menulis cerpen
dan puisi? Pikir saya pada diri sendiri. Kepercayaan yang tinggi, dan semangat
serupa api itu mengantarkan anak lugu, yang baru baca dua buku novel, yang
belum kenal Pram, dengan peci ditekan ke bawah hampir menyentuh kuping, tiba di
depan ruang OSIS, dan bergabung bersama teman-teman seangkatannya mendaftar
kuliah melalui jalur beasiswa. Tak mengherankan jika di tempat itu berjubelan
siswa-siswa yang lain karena tergiur dengan tawaran beasiswa dari Dikti, serta
kebetulan, lembaga sekolah yang saya duduki saat itu merupakan salah satu
sekolah terbaik di Sumenep. Bukan tak mungkin kemudian jika tak ada sama sekali
satu hingga tiga siswanya yang tidak lolos di sebuah perguruan tinggi negeri di
Indonesia. Tak pernah terpikirkan apakah sekolahnya memiliki laboratorium atau
tidak; perpustakaannya lengkap atau tidak; fasilitas keorganisasiannya mewadahi
atau tidak; bagi anak lugu yang pengalamannya ngaji kitab kuning ke
kiai-kianya, itu sudah luar biasa dan merasa tak ada sekolah lain yang
menyamainya: dan keluguan-keluguan itu baru saya rasakan saat ini, di kamar kos
ini, ketika tengah menghadapi 30-an naskah cerpen mahasiswa semester tujuh
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di tempat saya kuliah, jam
menunjukkan pukul satu dini hari, dan Kamis depannya, karena diminta salah
seorang dosen untuk menggantikannya—orang yang moralnya baik pasti tahu itu
adalah sebentuk amanah dan uji coba—harus mengulas satu per satu di depan para
mahasiswa; tujuannya, “Sharing proses
belajar menulis,” ujar Prof. Suminto, 5 November 2015. Saya masih ingat dengan
jelas bagaimana Pak Bambang, dosen Seni Tari, rekan sekantor Prof. Suminto,
menertawakan wajah saya yang kaget dan kosong. “Sudah sana berangkat, itu
bagian dari skripsimu,” tukas Pak Bambang. Dan Pak Bambang tidak tahu, selain
kaget, saya dregdegan membayangkan ada di muka kelas, di depan teman-teman
mahasiswa sambil berbicara ini dan itu. Mungkin itu lelucun, pikir saya
sepenangkap maksud dari tawa Pak Bambang yang hendak menghibur saya.
30-an naskah cerpen itu membawa ingatan saya pulang ke masa
di Pesantren; komunitas, guru bahasa Indonesia yang ditinggal tidur saat
pelajaran, dan perpustakaan sekolah. Saya mengutuki kegoblokan diri saya karena
dengan lugu menganggap jurusan Sastra Indonesia itu gampang; sebuah dunia yang
tak jauh dengan pembelajaran-pembelajaran menulis cerpen dan puisi. Dan saya
baru sadar, tampaknya, di masa itu, belum ada guru bahasa Indonesia di MA yang
murni lulusan jurusan Sastra Indonesia, melainkan yang ada jurusan
kependidikannya. Bukan persoalan, dan sesuatu yang wajar, mengingat Sarjana
Sastra tak banyak lapangan kerja. Saat itu, dan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah
di kampus pesantren, 80% terbukti mengambil jurusan yang bergelar Sarjana
Pendidikan Islam. Saya paham karena senior saya di kamar kuliah di pesanten
semua. Bukan persoalan, dan sesuatu yang wajar, mengingat kultur masyarakat
yang beranggapan bahwa menjadi guru adalah capaian tertinggi seorang pelajar.
Sementara itu, anak lugu yang belum paham kebutuhan masyarakat, nekat mengambil
jurusan Sastra Indonesia dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas. Dan alasan-alasan
tersebut membuat terkejut karena tidak sesuai dengan yang dibayangkan bahwa
Sastra Indonesia adalah studi yang berhubungan langsung dengan teks-teks,
pembentukan teks, bunyi pada sebuah teks, dan bagaimana sebuah teks itu
dibentuk dan diterima oleh pembaca. Dalam cakupan yang luas, Sastra Indonesia
sebagai sebuah disiplin ilmu yang menuntut untuk terus lebih dulu berkembang
dari disiplin-disiplin ilmu lain, yang tentu bahasa adalah mediumnya. Saya
mengingat para guru bahasa Indonesia, mengingat perbuatan-perbuatan nakal
seorang anak MA; mengapa tak dari dulu rajin baca buku dan tekun mengerjakan
perintah guru-guru?
Saya menyesal karena saya telah menyadarinya.
Kesalahan-kesalahan itu akan saya jadikan satu dari sekian alasan untuk terus
melakukan perintah-perintah yang dikatakan guru bahasa Indonesia, termasuk
ketika berhadapan dengan keadaan seperti saat sekarang, sambil memegang kepala,
dan berkata pada diri sendiri, “Semoga calon guru bahasa Indonesia ini
menginspirasi bagi anak didiknya nanti.”
Awal November 2015
Post a Comment