Tinggal di
perkampungan. Jauh dari pergaulan bebas ala anak-anak yang tinggal di kota.
Suatu hari dalam hidup saya, pada malam hari ayah mengajak saya ke sebuah
pengajian dalam acara haflatul imtihan sebuah sekolah madrasah diniyah. Saya
duduk di belakangnya mengendarai motor pribadinya. Limat menit kemudian tiba di
tempat pengajian disambut oleh panitia yang sedang menempati area terdepan
pintu masuk.
Keadaan itu
membuat saya rikuh karena sudah lama tidak mengikuti pengajian. Orang-orang
terasa asing dan cara mereka melihat saya itu membuat saya semakin rikuh. Di
kota ini, acara pengajian semacam itu banyak saya lewatkan. Dan kalau pun
sering mengikuti Kiai Kanjengnya Cak Nun, suasana pengajian di kampung saya
begitu berbeda.
Sekalipun
saya santri, tak banyak tahu tentang profil seorang kiai di daerah
Sumenep—hanya beberapa dan saya tidak memiliki kedekatan personal dengan kiai
mana pun. Kiai pada pengajian saat itu datang dari kecataman Kota—tak jauh dari
pusat kota Sumenep. Kiai tersebut dimuka ceramahnya mengomentari penampilan
anak-anak TK yang mementaskan tari. Semacam hiburan sebelum memasuki acara inti
pada haflah tersebut.
“Haram,”
katanya. “Anak-anak kecil yang diajari menari akan menjadi bibit-bibit tanda’[1],” lalu melanjutkan. Kiai itu tampak
sangat tidak suka dengan perform yang dikonsep panitia saat itu. Saya bukan
bagian dari panitia acara haflah itu. Saya bukan bagian dari keluarga besar
sekolah tersebut. Ketika saya pulang, saya membawa pikiran yang sangat berat.
Saya terganggu dengan kata haram yang
disampaikan kiai tersebut pada seluruh masyarakat.
Di kampung
saya, masyarakat memiliki kepercayaan tunggal, yaitu kepada kiai—sosok yang
dipercaya sebagai pengganti nabi—sosok yang setiap perkataannya adalah benar.
Akan tetapi, yang disampaikan kiai tersebut tidaklah membuat saya merasa diberi
tausiyah atau mauidzah hasanah. Ada yang sangsi dalam pikiran saya ketika kiai
tersebut berbicara bibit tanda’ di depan masyarakat awam.
Saya membaca
sejarah Sumenep, kemudian pascaruntuhnya kerajaan Sumenep, yang pada saat itu,
para penari kerajaan juga ikut bubar dan kembali ke kampungnya masing-masing.
Banyak hal yang memberi faktor adanya tanda’, pertama, aspek ekonomi masyarakat
saat itu; tanda’ dijadikan sebagai mata pencaharian. Kedua, kebudayaan di
daerah setempat; tanda’ merupakan bagian dari seni tradisi yang oleh masyarakat
zaman itu dilestarikan. Ketiga, ekonomi dan kebudayaan; tandak sebagai mata
pencaharian sekaligus bagian dari warisan budaya. Saat ini tampaknya yang
paling beralasan tanda’ hadir di tengah-tengah masyarakat adalah bagian ketiga.
Sosok kiai
tidak bisa serta merta memberikan stigma negatif terhadap seni tari tradisional
kepada anak-anak kecil pada pementasan saat itu. Sosok kiai tidak bisa
menghakimi seni tari adalah produk yang haram. Kiai memiliki kuasa di tengah
masyarakat. Ini bisa dibangun dari tindakan dan wacana. Dampak dari wacana yang
disampaikan kiai tersebut menimbulkan semakin kolotnya masyarakat awam tentang
pengetahuan seni dan kebudayaan. Gejala semacam ini akan mengakar di dalam
masyarakat dengan alasan, hitam dan putih yang dikatakan kiai, kalau buruk atau
pun benar, di depan Tuhan sang kiailah yang akan dipertanggungjawabkan.
Artinya, saya memberi kesimpulan bahwa masyarakat selain sami’na wa atho’na, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk
berpikir kritis, berpikir reflektif akan tindakan dan ucapan.
Pagi hari
keeseokan harinya dari pengajian tersebut, saya membantu ayah saya membenahi
dek kandang sapi. Di sampingnya saya membantu apa yang bisa saya lakukan. Saya
bertanya kepada ayah saya soal kiai pada malam itu.
“Ayah setuju
kalau anak yang kecil yang menari itu haram?”
“Tentu. Apa
sih gunanya menari kayak semalam?”
18 Agustus
2015
Menurut kakak sendiri, bagaimana pendapatnya tentang seni tari itu?
Post a Comment