Apa yang membuat
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tidak punya karya? Pertanyaan ini
tampak tidak adil ditujukan pada Sarjana Sastra seperti Kedung Darma Romansha,
Ira Komang Puspitaningsih, Dwi Raharyoso, atau Mutia Sukma. Ini aib yang tidak
perlu diselundupkan ke dalam peti mati. Kalau ternyata dari sekian angkatan
yang diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sekitar 70–85 mahasiswa,
hanya tiga sampai enam orang saja yang berani menunjukkan karyanya. Selebihnya
tidak berkarya atau karena terlalu rendah hati?
Di dalam perkuliahan
Penulisan Fiksi, si dosen bertanya kepada mahasiswa terkait pengalaman menulis
fiksi sepanjang hidupnya. Diam. Tak ada yang mengacungkan tangan dan mulut di
dekap. Di dalam kelas saya amat kecewa pada dosen karena ternyata tidak
perhatian kepada mahasiswa. Dalam kuliah Penulisan Fiksi saya sekelas dengan
Muhammad Farid Anshori. Cerpennya Pada
Sebuah Jendela meraih juara 1
Anugerah Short Story and Photography Competition di Universitas Gajah Mada
tahun 2013; Drajat Teguh Jatmiko cerpenis yang pernah menulis di Suara Merdeka.
Ada dua sisi yang tidak
imbang. Pertama ketika seorang dosen sastra tidak banyak tahu perkembangan
mahasiswa. Bukan berarti si dosen tidak pernah membaca karya si mahasiswa,
barangkali tak ada media informasi semacam koran, majalah atau internet yang
bisa diakses. Sehingga untuk memantau perkembangan mahasiswa terbatas di dalam
kelas. Atau bisa jadi alasan yang riil adalah ketika dosen tidak karib dengan
mahasiswa. Itu pun terkadang didasari oleh sisi kedua yaitu, mahasiswa sastra
yang rendah hati. Tidak mau menunjukkan karya kreatifnya kepada si dosen. Perlu
diketahui, bahwa kelas yang buruk di mata dosen adalah kelas yang tidak pernah mau
menunjukkan taring yang sesungguhnya kepada dosen.
Ada sisi lain yang perlu
ditambahkan, bisa dibilang yang ketiga. Mahasiswa yang rendah hati, atau lebih
tepatnya malu karena karyanya buruk. Suatu waktu di hari Kamis (27/2/2014)
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti mutung.
Prof. yang mengampu kuliah Penulisan Puisi tersebut keluar kelas dan
memaki-maki mahasiswa. Ceritanya, hanya 5 dari 30-an mahasiswa yang menyetor
sebiji puisi. Tiba-tiba salah seorang mahasiswa dengan tergesa-gesa menulis
puisi spontan. Sontak Prof. Minto marah dan bilang, “jangan sok seniman!”
Akibat tersebut, mahasiswa yang bersangkutan memotong rambut gondrongnya
keesokan harinya. Tak ada yang bisa meredamkan api kemarahan Prof. Minto.
Beliau keluar kelas dan mahasiswa ikut berhambur mengejar. Sia-sia. Guru sastra
yang juga diberi gelar Prof. Pacul tersebut tetap sekuat batu gunungan. Tak
kenal rayuan tetap meradang kepada pulang.
Saya membaca, Mahasiswa
Sastra Indonesia lebih tepatnya malu menunjukkan karyanya. Ini bisa jadi
dilatarbelakangi oleh karya puisinya yang buruk. Bisa jadi karena sedang
melakukan uzlah, sebuah pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada
ibadah. Mungkin. Karena itu, mau tidak mau seorang mahasiswa berani membuat
gurunya sakit hati, kecewa, karena tidak menyetor tugas menulis sebiji puisi.
Tahun 2006, lebih
tepatnya pada acara bedah buku antologi puisi Negeri
Tanpa Kekasih, Prof. Minto berujar, “Penyair yang baik tidak mau
menggunakan kata yang sering dipakai oleh penyair lain, atau oleh khazanah yang
lain di luar sastra, seperti politik, dunia reklame, dan lainnya. Penyair harus
memurnikan kata-kata. Ia harus mencari dan menggunakan ‘perawan kata’. Ini
adalah tugas yang berat.” (Kompas/11 Oktober 2006). Saya kira mahasiswa sastra,
tidak menunjukkan karyanya karena dibebani oleh tantangan etis tersebut.
Beruntung masih menulis puisi dengan cara diam-diam. Akan lebih ironis jika
tiba-tiba, seorang mahasiswa sastra mendapatkan tantangan tetapi kemudian takut
dan menjadi impoten. Ternyata tidak hanya rokok yang berbahaya. Puisi akan
dilarang sebagai bagian dari pokok terpenting di dalam akademik.
Prof. Minto mengatakan
pula, sebagai seorang pemula, “Tidak usah risau kalau merasa puisi itu belum
baik. Tidak usah malu. Percayalah, puisi Anda itu baik bagi Anda. Jangan
minder, tetapi harus tetap mau belajar terus. Jangan rendah diri.” Saya
membayangkan kalau kalimat ini tidak hanya Prof. Minto yang melontarkan. Anggap
saja puisi yang dimaksud adalah bagian dari kinerja menulis kreatif. Sehingga,
tak ada yang perlu dirisau-cemaskan, sebuah tulisan apapun jenisnya, jangan
berharap (kata A.S. Laksana) karya yang pertama akan dinilai bagus. Maka,
dibutuhkan untuk menulis karya kreatif yang selanjutnya dan selanjutnya.
Saya tidak tahu alasan
mengapa mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia minim bergulat di bidang
kepenulisan puisi, cerpen/novel, dan drama? Bahkan, dengan diam-diam mulai
tidak percaya kalau menulis tidak akan memberi sumber kehidupan. Sehingga,
pantas saja jika Jurusan sendiri, di tengah-tengah masa semester diselipi mata
kuliah Kewirausahaan sebagai bentuk penunjang soft
skill mahasiswa. Adakah di
jurusan akuntansi, manajemen, diselipi juga dengan mata kuliah puisi?
Banyak penulis muda
berkembang. Mereka mengawalinya dari berbagai cara, ke media atau berproses
mengikuti kompetisi sayembara penulisan. Banyak penulis muda yang berhasil
menggapai cita-citanya baik sebagai penyair, cerpenis/novelis, atau esais? Yang
jelas mereka bukan dari lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemana mereka? Apa
mitos itu terwujud bahwa lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia dicetak untuk
menjadi kritikus? Kita lihat taringnya…
Post a Comment