Aku akan jujur, seseorang di sampingku telah
melakukan rutinitas sama denganku di depan laptop dari tiga jam lalu memiliki
rasa kepada seseorang di samping kananku yang tiba di kedai ini satu jam
setengah yang lalu. Aku akan jujur, seseorang di meja yang berbeda yang di pinggangnya
sebuah tangan melingkar di sana membuat aku jatuh cinta.
Kedai ini membuat banyak kebudayaan tumbuh:
berdiskusi, membaca, bermain kartu dan game, ada banyak kejenuhan-kejenuhan
yang hilang ketika kedai ini tumbuh di antara sawah-sawah dan lorong hitam kecil
yang ujungnya mesti bertemu dengan rel kereta. Kejenuhan datang kepada
makhluk-makhluk yang dinamai kita, kita gelisah dan tak bisa terkatakan. Maka ketika
berjalan sedikit, tiba di rel, lurus ke selatan sampai dua ratus meter jauhnya,
di timur jalan tempat ini ada di antara sawah-sawah yang hijau. Namun tempat
ini tak menampakkan kehijauan sama sekali. Tempat ini mirip pohon yang mati:
kering. Bahkan, ada yang tidak koheren, mirip sebuah kalimat pada sebuah cerita
pendek yang ditulis dengan tergesa-gesa, tempat ini batang penyangga yang
dipakainya adalah bambu dan gentingnya dari janur kelapa. Sungguh tidak koheren.
Di dalam sebuah fiksi sebuah konteks macam ini dinilai minus. Karena yang
kutulis ini terjadi pada Jum’at 3 Januari 2014 pukul 11:39 maka jelas ini
adalah sebuah fakta. Jadi, realitas boleh tidak masuk akal. Tapi, fiksi harus
masuk akal.
Aku menyeruput jeruk anget kedua. Bibirku
sedang mengalami gangguan serius. Sariawan, katanya. Sering gangguan ini
melandaku. Entah sengaja atau tidak, terus terang saja, setiap pergantian
kalender selalu gangguan ini datang. Maka, aku minum minuman yang mempunyai
kadar vitamin c.
Seseorang di samping kananku terus bergulat
dengan tugas akhir semesternya. Sebenarnya, itu juga tugas akhir semesterku. Ia
asyik dengan musik keroncongnya. Seseorang di samping kananku menelan kata-kata
yang sama denganku, “Hilang mood.” Begitu istilahnya. Akan, tetapi memiliki
rasa yang berbeda denganku.
Seseorang yang asyik lelaki di sampingnya itu semakin malam wajahnya kian tenggelam ke dalam kesunyian. Sayu wajahnya, tapi tawanya yang tak kudengar itu terdengar membahana di dadaku. Matanya diam-diam ingin melumat redup lampu yang kekuning-kuningan. Sial, sial…
Seseorang yang asyik lelaki di sampingnya itu semakin malam wajahnya kian tenggelam ke dalam kesunyian. Sayu wajahnya, tapi tawanya yang tak kudengar itu terdengar membahana di dadaku. Matanya diam-diam ingin melumat redup lampu yang kekuning-kuningan. Sial, sial…
Indonesia Idol baru saja tuntas di sebuah stasiun televisi
lama. Seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah di kampusku ikut di
sana, tepatnya lolos sampai di depan si Ahmad Dani. Lagu-lagu tradisional
dengan riang dan tenang ia bawakan. Saat dia diberi kesempatan berkomentar,
Djaka namanya, ngomong dengan santai seolah-olah si Dani adalah teman
sehari-harinya, mestinya Indonesia Idol menghargai musik tradisional, tidak
hanya memilih lagu-lagu pasaran.
Kebanggaan yang tampak adalah, Djaka berani
tampil di depan publik, tanpa canggung dan riang akan melestarikan lagu-lagu
daerah. Saya tahu, betapa musik Indonesia mutakhir ini semakin ke barat-baratan,
ke Korea-korean, ke Jepang-jepangan. Indonesia seperti tidak memiliki suku-suku
yang beragam di sana. Dan ibu kota Jakarta, adalah satu-satunya kota yang
paling gencar terhadap musik macam itu.
“Maw, apa kata lain dari melodius?” tanya
seseorang di samping kananku.
yak, sepertinya aku mengenal siapa yang menanyakan kata melodius kepadamu wai, dan yang sekarang menjadi label entri mu itu :p
Asthi, mesti banyak ngopi sama kamu kalau begitu :D
Post a Comment