di elo-progo
apa yang tak mungkin
selain kedalaman sungai
dan curamnya pandangan kita
pada malam

Sepuluh kawan, yang di antara mereka laki-laki dan perempuan, ditambah dua orang teman (sebenarnya kakak kelas di jurusan saya yang kebetulan berada di sana)  merelakan menjadi guide pada perjumpaan kami di elo-progo. Sepuluh kawan itu adalah Lana, Gus Farid, Bang Satya, Ebma, Felesia, Asthi, Elen, Panggah dan  Radit. Guide yang dimaksud tadi adalah Mutiara Arum Kirana Suci dan satu lagi lelaki berambut panjang tapi lupa namanya.

Perjumpaan kami di elo-progo dibilang menarik-tidak menarik, dibilang tidak menarik-menarik. Kira-kira saya akan menyeret cerita ini ke beberapa jam sebelumnya, sekitar dua jam sebelum tiba di elo-progo. Telepon saya berdering. Sebuah SMS dari Elen saya baca: Di, kamu ada acara? Ikut ke elo-progo yuk. Saya balas iya. Saya tidak ada acara nanti malam. Malam Minggu (23/11). Karena, sebuah agenda acara bagi saya adalah modus untuk memberi dampak positif kepada saya. Jalan-jalan bareng pacar tidak termasuk modus memberikan sesuatu yang positif. Tiba di kos Elen, yang saat itu Fei, Lana, Farid, Satya sudah di sana. Kata teman saya itu, kita akan melihat matahari terbenam. Di elo-progo? Teman saya mengiyakan. Tetapi, hari sudah hampir malam dan tidak mungkin tiba di Magelang matahari masih sepenggalahan.

Maghrib benar-benar baru tiba di Magelang, di rumah teman saya Panggah (ini orang berbeda banget dengan adik kandungnya. Satya menyebutnya bagai ibu jari dan jari kelingking. Hehehe). Sepuluh menit rihat sejenak. Membincang-bincang pohon mangga dengan buahnya yang menakjubkan. Pohonnya kecil, buahnya lebat. Seandainya manusia mampu menyifati pohon ini, alangkah bangganya. Hanya manusia hasil cangkokan tentunya. Manusia yang mempunyai jam terbang yang tinggi. Perkumpulan kami ditemani asap rokok dan teh hangat khas Muntilan. Disertai canda dan menumbuhkan tawa. Coba perhatikan di sekitar kita, teman-teman dan orang yang ada di dalam kehidupan kita. Tentang tawa, bibir seperti apa yang paling indah? Jangan bayangkan!

Akhirnya, genap sepuluh orang rombongan kami, berangkat menuju sebuah arah yang kemudian saya tahu adalah elo-progo. Hari belum sempurna gelap dan di kanan-kiri jalan anak-anak desa beriringan hendak berangkat ke surau. Tiba di elo-progo kami disambut dengan suasana yang gelap dan bangunan yang seram. Saya tidak melihat kalau di depan saya memarkir motor terbentang sungai memanjang ke arah barat. Terdengar lamat-lamat suara yang disimpan ceruk sungai. Sebuah suara yang tidak dimiliki oleh pohon-pohon dan batu-batu. Lampu masih gelapnya. Nyala cahaya tampak dari sebuah ruangan kecil yang tiba-tiba penghuninya menyambangi kami. Bersalaman. Di situ, kami bertemu Mutiara, kakak kelas yang dimaksud tadi. Bercumbu canda sejenak. Basa-basi. Oleh, Mutiara kami dibawa ke galeri seni lukis. Tempatnya begitu gelap sebelum lampu dinyalakan. Menerobos dari pintu ke pintu. Pintu terakhir menghubungkan dengan taman yang di bawahnya kami melihat pertemuan dua sungai bernama elo dan progo. Di elo-progo saya lebih merasakan suara-suara parau dari kedalaman ceruk sungai dari pertemuan dua sungai. Darah saya diambil dan diganti kesejukan. Saya dingin dan butuh darah. Darah saya kembali separuh. Di dalam tubuh saya ada darah dan kesejukan.

Elo-progo dikelola oleh Sonny, seorang seniman. Bagi siapa saja yang ingin ke elo-progo, ingin menenangkan pikiran, datanglah. Tidak ada pungutan administrasi. Silakan bawa tenda dan bermalam di bawah naungan pohon-pohon. Bagi yang menginap di wisma, minimal mempunyai enam rombongan untuk memesan kamar. Untuk yang satu ini, harga kamar bisa ditanyakan langsung ke beberapa kawan di elo-progo. Katanya, elo-progo sering ditempati untuk ritual-ritual Hindu, adat Jawa atau tahun baru. Termasuk di tahun 2014 nanti.

Di elo-progo, kami ketinggalan matahari…

 Ahad, 24 November 2013