Glass dan Sepotong Cerita

Mengapa Glass membuang-buang waktu untuk membunuh Fitzgerald? bukankah Glass punya peluang besar meledakkan kepala Fitzgerald ketika ia mendekati mayat Kapten, ketika mendorong tubuh Kapten ke tanah, ketika membalikkan tubuh Kapten, ketika menyingkap jubah yang menutupi wajah Kapten yang dianggap oleh Fitzgerald adalah Glass?

Apa hubungan sesungguhnya antara Suku Ree dengan orang-orang dalam kelompok Glass? bisakah hipotesis penonton dibuktikan bahwa ini ada hubungannya dengan berburu hewan secara liar di tengah hutan? mengapa orang-orang Suku Ree mengejar orang-orang Glass hingga ke daerah kekuasaannya?

Mengapa Glass dipertemukan dengan Kelompok Barbar di tengah hutan ketika mereka tengah berpesta? siapakah sesungguhnya Kelompok Barbar ini? apa kontribusi kelompok ini di dalam struktur cerita? dan mengapa pula teman baru Glass yang dibunuh-gantung oleh Kelompok Barbar ini?

Kalau pun cerita ini memiliki relevansi kesejarahan antarsuku, dan dimungkinkannya suatu usaha balas dendam, mengapa pula pada Glass dan Fitzgerald cerita visual ini berakhir? bukankah mereka seorang teman dalam tim? bukankah mereka berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama? benarkah Glass membunuh Fitzgerald sebagai usaha balas dendam? bagaimana kalau Fitzgerald tidak mati ketika arus sungai membawanya hanyut, apakah Glass akan berusaha membunuh Fitzgerald untuk kedua kalinya?

Bisakah kita curiga terhadap kemunculan beruang besar yang menyerang Glass ketika teman-temannya sedang tidur dan Glass memilih keluar dari lingkarannya? mengapa pada seekor beruang kematian itu nyaris menghampiri Glass dengan kondisi tubuh hancur dan membusuk? mengapa  Hawk yang mati oleh pisau Fitzgerald dan bukankah balas dendam ideal itu dilakukan seorang anak ketika Glass yang dibunuh mati oleh Fitzgerald? apa maksud perkataan Fitzgerald yang mengatakan bahwa Hawk adalah anak banci?


04 April 2016

Guru Bahasa Indonesia

Kuliah di jurusan Sastra, di dalam benak seorang anak SMA adalah pilihan yang gampang. Pengalaman tersebut saya alami 5 tahun yang lalu, sewaktu duduk di bangku kelas 3 Madrasah Aliyah, pada saat yang sama banyak teman-teman saling bertanya ke mana akan melanjutkan, dan apa jurusan yang akan diambil. Merasa diri tidak punya kapasitas dalam bidang eksak, hal pertama yang terlintas adalah bahasa Indonesia. Bukankah saat itu aku bisa menulis cerpen dan puisi? Pikir saya pada diri sendiri. Kepercayaan yang tinggi, dan semangat serupa api itu mengantarkan anak lugu, yang baru baca dua buku novel, yang belum kenal Pram, dengan peci ditekan ke bawah hampir menyentuh kuping, tiba di depan ruang OSIS, dan bergabung bersama teman-teman seangkatannya mendaftar kuliah melalui jalur beasiswa. Tak mengherankan jika di tempat itu berjubelan siswa-siswa yang lain karena tergiur dengan tawaran beasiswa dari Dikti, serta kebetulan, lembaga sekolah yang saya duduki saat itu merupakan salah satu sekolah terbaik di Sumenep. Bukan tak mungkin kemudian jika tak ada sama sekali satu hingga tiga siswanya yang tidak lolos di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Tak pernah terpikirkan apakah sekolahnya memiliki laboratorium atau tidak; perpustakaannya lengkap atau tidak; fasilitas keorganisasiannya mewadahi atau tidak; bagi anak lugu yang pengalamannya ngaji kitab kuning ke kiai-kianya, itu sudah luar biasa dan merasa tak ada sekolah lain yang menyamainya: dan keluguan-keluguan itu baru saya rasakan saat ini, di kamar kos ini, ketika tengah menghadapi 30-an naskah cerpen mahasiswa semester tujuh jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di tempat saya kuliah, jam menunjukkan pukul satu dini hari, dan Kamis depannya, karena diminta salah seorang dosen untuk menggantikannya—orang yang moralnya baik pasti tahu itu adalah sebentuk amanah dan uji coba—harus mengulas satu per satu di depan para mahasiswa; tujuannya, “Sharing proses belajar menulis,” ujar Prof. Suminto, 5 November 2015. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana Pak Bambang, dosen Seni Tari, rekan sekantor Prof. Suminto, menertawakan wajah saya yang kaget dan kosong. “Sudah sana berangkat, itu bagian dari skripsimu,” tukas Pak Bambang. Dan Pak Bambang tidak tahu, selain kaget, saya dregdegan membayangkan ada di muka kelas, di depan teman-teman mahasiswa sambil berbicara ini dan itu. Mungkin itu lelucun, pikir saya sepenangkap maksud dari tawa Pak Bambang yang hendak menghibur saya.

30-an naskah cerpen itu membawa ingatan saya pulang ke masa di Pesantren; komunitas, guru bahasa Indonesia yang ditinggal tidur saat pelajaran, dan perpustakaan sekolah. Saya mengutuki kegoblokan diri saya karena dengan lugu menganggap jurusan Sastra Indonesia itu gampang; sebuah dunia yang tak jauh dengan pembelajaran-pembelajaran menulis cerpen dan puisi. Dan saya baru sadar, tampaknya, di masa itu, belum ada guru bahasa Indonesia di MA yang murni lulusan jurusan Sastra Indonesia, melainkan yang ada jurusan kependidikannya. Bukan persoalan, dan sesuatu yang wajar, mengingat Sarjana Sastra tak banyak lapangan kerja. Saat itu, dan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di kampus pesantren, 80% terbukti mengambil jurusan yang bergelar Sarjana Pendidikan Islam. Saya paham karena senior saya di kamar kuliah di pesanten semua. Bukan persoalan, dan sesuatu yang wajar, mengingat kultur masyarakat yang beranggapan bahwa menjadi guru adalah capaian tertinggi seorang pelajar. Sementara itu, anak lugu yang belum paham kebutuhan masyarakat, nekat mengambil jurusan Sastra Indonesia dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas. Dan alasan-alasan tersebut membuat terkejut karena tidak sesuai dengan yang dibayangkan bahwa Sastra Indonesia adalah studi yang berhubungan langsung dengan teks-teks, pembentukan teks, bunyi pada sebuah teks, dan bagaimana sebuah teks itu dibentuk dan diterima oleh pembaca. Dalam cakupan yang luas, Sastra Indonesia sebagai sebuah disiplin ilmu yang menuntut untuk terus lebih dulu berkembang dari disiplin-disiplin ilmu lain, yang tentu bahasa adalah mediumnya. Saya mengingat para guru bahasa Indonesia, mengingat perbuatan-perbuatan nakal seorang anak MA; mengapa tak dari dulu rajin baca buku dan tekun mengerjakan perintah guru-guru?

Saya menyesal karena saya telah menyadarinya. Kesalahan-kesalahan itu akan saya jadikan satu dari sekian alasan untuk terus melakukan perintah-perintah yang dikatakan guru bahasa Indonesia, termasuk ketika berhadapan dengan keadaan seperti saat sekarang, sambil memegang kepala, dan berkata pada diri sendiri, “Semoga calon guru bahasa Indonesia ini menginspirasi bagi anak didiknya nanti.”

Awal November 2015

Agama dan Seni #1


Tinggal di perkampungan. Jauh dari pergaulan bebas ala anak-anak yang tinggal di kota. Suatu hari dalam hidup saya, pada malam hari ayah mengajak saya ke sebuah pengajian dalam acara haflatul imtihan sebuah sekolah madrasah diniyah. Saya duduk di belakangnya mengendarai motor pribadinya. Limat menit kemudian tiba di tempat pengajian disambut oleh panitia yang sedang menempati area terdepan pintu masuk.

Keadaan itu membuat saya rikuh karena sudah lama tidak mengikuti pengajian. Orang-orang terasa asing dan cara mereka melihat saya itu membuat saya semakin rikuh. Di kota ini, acara pengajian semacam itu banyak saya lewatkan. Dan kalau pun sering mengikuti Kiai Kanjengnya Cak Nun, suasana pengajian di kampung saya begitu berbeda.

Sekalipun saya santri, tak banyak tahu tentang profil seorang kiai di daerah Sumenep—hanya beberapa dan saya tidak memiliki kedekatan personal dengan kiai mana pun. Kiai pada pengajian saat itu datang dari kecataman Kota—tak jauh dari pusat kota Sumenep. Kiai tersebut dimuka ceramahnya mengomentari penampilan anak-anak TK yang mementaskan tari. Semacam hiburan sebelum memasuki acara inti pada haflah tersebut.

“Haram,” katanya. “Anak-anak kecil yang diajari menari akan menjadi bibit-bibit tanda’[1],” lalu melanjutkan. Kiai itu tampak sangat tidak suka dengan perform yang dikonsep panitia saat itu. Saya bukan bagian dari panitia acara haflah itu. Saya bukan bagian dari keluarga besar sekolah tersebut. Ketika saya pulang, saya membawa pikiran yang sangat berat. Saya terganggu dengan kata haram yang disampaikan kiai tersebut pada seluruh masyarakat.

Di kampung saya, masyarakat memiliki kepercayaan tunggal, yaitu kepada kiai—sosok yang dipercaya sebagai pengganti nabi—sosok yang setiap perkataannya adalah benar. Akan tetapi, yang disampaikan kiai tersebut tidaklah membuat saya merasa diberi tausiyah atau mauidzah hasanah. Ada yang sangsi dalam pikiran saya ketika kiai tersebut berbicara bibit tanda’ di depan masyarakat awam.

Saya membaca sejarah Sumenep, kemudian pascaruntuhnya kerajaan Sumenep, yang pada saat itu, para penari kerajaan juga ikut bubar dan kembali ke kampungnya masing-masing. Banyak hal yang memberi faktor adanya tanda’, pertama, aspek ekonomi masyarakat saat itu; tanda’ dijadikan sebagai mata pencaharian. Kedua, kebudayaan di daerah setempat; tanda’ merupakan bagian dari seni tradisi yang oleh masyarakat zaman itu dilestarikan. Ketiga, ekonomi dan kebudayaan; tandak sebagai mata pencaharian sekaligus bagian dari warisan budaya. Saat ini tampaknya yang paling beralasan tanda’ hadir di tengah-tengah masyarakat adalah bagian ketiga.

Sosok kiai tidak bisa serta merta memberikan stigma negatif terhadap seni tari tradisional kepada anak-anak kecil pada pementasan saat itu. Sosok kiai tidak bisa menghakimi seni tari adalah produk yang haram. Kiai memiliki kuasa di tengah masyarakat. Ini bisa dibangun dari tindakan dan wacana. Dampak dari wacana yang disampaikan kiai tersebut menimbulkan semakin kolotnya masyarakat awam tentang pengetahuan seni dan kebudayaan. Gejala semacam ini akan mengakar di dalam masyarakat dengan alasan, hitam dan putih yang dikatakan kiai, kalau buruk atau pun benar, di depan Tuhan sang kiailah yang akan dipertanggungjawabkan. Artinya, saya memberi kesimpulan bahwa masyarakat selain sami’na wa atho’na, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk berpikir kritis, berpikir reflektif akan tindakan dan ucapan.

Pagi hari keeseokan harinya dari pengajian tersebut, saya membantu ayah saya membenahi dek kandang sapi. Di sampingnya saya membantu apa yang bisa saya lakukan. Saya bertanya kepada ayah saya soal kiai pada malam itu.

“Ayah setuju kalau anak yang kecil yang menari itu haram?”

“Tentu. Apa sih gunanya menari kayak semalam?”

18 Agustus 2015



[1] Ronggeng

Manusia Jenaka di Jakarta

Seno Gumira Ajidarma, dikenal sebagai prosais yang banyak menulis dari fakta-fakta sosial. Posisinya sebagai seorang wartawan saat itu membuat karya-karya berada pada pergumulan antara realitas dan fiksi. Keahliannya di bidang kesusastraan, menempatkannya dalam deretan para pengarang nasional—bahkan dunia. Perihal ini dilihat dari banyak karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa asing. Di dalam karya prosanya, posisinya sebagai wartawan banyak berpengaruh di dalamnya. Misal dalam kumpulan cerpennya Saksi Mata yang menguak konflik Timor-Timor, begitu pun dengan Penembak Misterius, cerpen-cerpen yang berbicara tragedi 98.

Buku Tiada Ojek di Paris ini merupakan kumpulan kolom Seno Gumira Ajidarma. Buku ini tersusun dari sejumlah kolom dalam Affair (Buku Baik, 2004) dan Kentut Kosmopolitan (Koekoesan, 2008) maupun beberapa kolom yang belum dibukukan dari majalah Djakarta. Kendati Seno menulis tentang Jakarta sudah lama, bahkan sebelum buku pertamanya itu terbit, buku ini dirasa perlu hadir dan masih relevan hingga sekarang. Menurut penulisnya, kehidupan urban, yang pertumbuhannya memang dibentuk pergulatan pelbagai kepentingan, dengan segala keamburadulan yang diakibatkannya, adalah lahan subur untuk memeriksa usaha memapankan peradaban, dan membongkar mitosnya, agar kebudayaan bisa dilanjutkan.

Dari sudut ini dapat dimengerti mengapa Seno menulis kolom dengan tekun tentang Jakarta?—selain memang beberapa kebutuhan yang diinginkan oleh majalah Djakarta. Tentu banyak jawabannya. Sejak Daniel Ziv pada tahun 2000 meminta Seno untuk menulis di majalah tersebut, Seno tertarik untuk menuliskan masyarakat urban. Agaknya Seno tidak terlalu tertarik untuk membuat pencitraan tentang Jakarta dalam kolom-kolomnya. Dia lebih tertarik untuk mengkritik masyarakat urban di sana, sekali pun pada akhirnya itu bagian dari otokritik Seno. Karena itu, tidak mungkin, dari persoalan zebra cross, persoalan kartu nama, munculnya uang dengar, hingga muncul istilah manusia mobil, Seno merasa dekat dengan kebudayaan itu tanpa sentuhan pengalaman empiris. Hal itu membuat sejumlah kolom dalam buku ini menjadi semacam sebuah obrolan santai. Dan seperti itulah, kolom dalam buku ini, yang diinginkan oleh pembaca; tulisan-tulisan santai yang melibatkan subjektivitas pengarangnya. Seno lihai dalam menjabarkan sebuah fenomena yang kompleks, masalah sosial yang kompleks; hal itu terasa dalam kolom-kolomnya semisal Manusia Jakarta, Manusia Mobil.

Di dalam Manusia Jakarta, Manusia Mobil (hlm. 21) pembaca akan terbahak-bahak ketika membaca uraian Seno mengenai pola tingkah masyarakat urban di kota metropolitan semacam Jakarta. Di dalam kolom ini, manusia Jakarta akan dihadapkan dengan dua dunia yakni, dunia mobil dan kemacetan. Manusia dan mobil dalam sintesis kemacetan melahirkan semesta yang unik. Secara teoretis, waktu dalam kehidupan manusia Jakarta dibagi dua; di rumah dan di tempat kerja. Menurut Seno, ini melahirkan dikotomi stereotip tentang tarik ulur antara keluarga dan karier. Dalam praktiknya, waktu yang 24 jam itu dibagi menjadi tiga: waktu di rumah, waktu di kantor, dan waktu dalam perjalanan yang bagi manusia Jakarta, hal itu berarti berada dalam mobil. Banyak perisitiwa aneh dan lucu yang dilakukan oleh masyarakat urban ini, misal makan sambil menyetir, teleponan sambil menyetir, menyetel hasil rekaman omongan dosen di dalam mobil, dan bahkan bisa saja digunakan untuk bercinta. Menurut Seno, mobil memang bukan sekadar sarana transportasi. Oleh penjual koran, kemacetan menjadi sarana berbisnis. Di Jakarta transportasi tidak membuat bisnis menjadi lancar, sebaliknya, adanya kemacetan membuat banyak harapan larisnya koran dan majalah. Bahkan dalam kolom yang lain, Mobil: Sebuah Mitos (hal.169) mobil memiliki makna penting dalam suatu konteks tertentu—yakni bukan konteks transportasi, tapi mempunyai konsekuensi jauh lebih mendalam ketimbang soal gengsi dan nongengsi.

Uraian menarik tentang zabra cross; semua orang tahu kegunaannya: yaitu sarana bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan, dan para pengendara bermotor diwajibkan untuk mendahulukannya. Oleh orang Jakarta semua itu tidak digubris. Alih-alih sang pengendara bermotor langsung berhenti ketika melihat seseorang hendak menyeberang jalan—dalam kenyataannya si penyeberang malah diklakson, yang artinya sebuah teguran, yang bahasa kasarnya sebuah bentakan. Tulisan yang berjudul Zebra Cross (hal. 161)  ini, bagi penulisnya, merupakan sebuah ketimpangan kebijakan. Bahkan, bisa dikaitkan dengan sisi-sisi moralitas si pelanggar yang tidak tahu menahu keberadaban.

Kalau Anda mendengar istilah uang hadir, uang tutup mulut, uang keamanan, uang lelah, itu sudah biasa. Tidak hanya di Jakarta, kota sekelas Yogyakarta ataupun Bandung dan Surabaya pasti memiliki kebudayaan demikian—terutama yang berhubungan dengan birokrasi, atau hal-hal yang sifatnya formal. Di Jakarta terdapat istilah “uang dengar”. Apa arti dari makna uang dengar? Seno mendefinisikannya dengan sebuah ilustrasi seperti ini: sebuah keluarga mencari rumah untuk dikontrak. Suatu hari, mereka menemukan rumah kosong yang memang dikontrakan. Maka mereka, setelah tengok-tengok dari luar, menelepon yang empunya rumah, setelah datang tersepakatilah suatu transaksi. Nah, ujug-ujug tetangga di sebelah rumah kontrakan meminta “uang dengar”. Apa peranan si peminta itu? Tidak ada. Oleh Seno, praktik-praktik sosial yang demikian adalah keajaiban yang serba ada di Jakarta. Tentu bukan keajaiban yang kontributif, sebaliknya, merugikan banyak pihak. Judul kolom ini Uang Dengar L; tentang makna suatu kata sebagai produksi sosial (hal. 102).

Apakah masih ada gunanya membicarakan sebuah buku yang ditulis dengan semangat kritik atas fenomena masyarakat urban? Menurut saya, fenomena yang ditulis Seno dalam buku ini merupakan bagian dari dampak postmodernisme, suatu zaman yang menghendaki capaian lebih, atau sebuah keinginan yang melampaui zaman modern. Gejala ini bisa muncul di pelbagai kota besar di Indonesia, setelah manusia-manusianya tidak bisa mengendalikan tekanan sosial yang terjadi di sekitarnya.



Buku ini ditulis dalam rangka itu, memberikan sebuah kritik kepada pembaca, baik orang Jakarta atau nonjakarta. Sebagai sebuah ibu kota, Jakarta memang menarik untuk ditulis, seperti kolom dalam buku ini, dari banyak sisi. Dari sana, akan timbul sebuah sketsa pikiran jika pada suatu masa, kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, akan datang satu adegan demi adegan yang tidak kalah aneh dengan Jakarta.

Soal pembicaraan novel atau cerpen-cerpennya Seno di atas, sebenarnya dia tidak pernah menyinggungnya di dalam buku ini, saya pun dengan segala hormat, tidak berniat mengait-kaitkannya. Hanya saja Anda akan tahu, dan bahkan terkaget-kaget, dengan cara menulis Seno di dalam buku kumpulan kolom ini, yang membedakan dengan kolumnis-kolumnis kelas papan atas yang lain. Selamat membaca!





JUDUL Tiada Ojek di Paris | PENGARANG Seno Gumira Ajidarma | PENERBIT Mizan | TERBITAN Mei 2015 | ISBN 978-979-433-846-9

Karena Penyair Adalah Pelamun


Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat. Penyair tak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan lamunannya.
(Rene Wellek & Austen Warren)

Terdakwa dalam tulisan ini, teman saya M (25) berujar, “Tidak usah banyak-banyak menulis puisi. Buktinya, dalam setahun ini aku cuma menghasilkan satu puisi.” (Barangkali) saya percaya. Itu terlihat dari puisi-puisinya yang dalam tahun ini dimuat di majalah Horison dan Koran Tempo. Tujuh puisi di Horison dan tiga di Tempo banyak dihasilkan di tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2011 awal dia memberanikan mengirim ke media, katanya langsung dimuat di Jawa Pos. Itu bukti lagi, kalau menulis puisi jangan banyak-banyak. Setahun menghasilkan satu puisi boleh, asal bagus dan menggetarkan pembaca.

Terdakwa kedua juga teman saya F (21) mengatakan, “Aku harus produktif menulis puisi. Apa pun akan kujadikan puisi; tikus yang terlindas mobil di jalan, nyamuk yang masuk kamar, dan kegelisahanku ketika membaca buku akan kubuat puisi. Bahkan, kalau perlu tiap hari adalah puisi.” Terdakwa ketiga teman saya juga, yaitu G (34) bilang, “Motivasi orang sepertiku jelas, lihat anak langsung menulis puisi. Yah, kalau tidak anakku bakalan kelaparan. Bulsit sama mood. Itu musuh sejak kecil, kulawan saja.” Saya percaya. Puisi-puisinya selain sering dimuat di Kompas, Tempo, Horison, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, masih banyak lagi bertebaran di media lain.

Aneka ragam cara kerja penyair akan banyak kita temui ketika ngopi di kedai, silaturahim ke rumah salah seorang penyair, dilakukan dengan wawancara lewat jejaring sosial, atau ada yang tanpa diminta langsung berseloroh, tepat di hari Minggu (hari biasa sastra dipublikasikan di koran) ketika menemukan salah seorang penyair yang sangat produktif, berkomentar, “Tiap minggu ya si G ini dimuat. Padahal, puisi-puisinya tidak ngomong apa-apa.”

Bagi penulis pemula jika berhadapan dengan ciri salah seorang penyair di atas akan cenderung berpikir panjang ‘bagaimana seharusnya puisi ditulis?’ Bermacam-macam motivasi kadang melambungkan dan sering menjatuhkan. Akhirnya, si pemula mengambil jalan untuk vakum menulis. Di kamar menumpahkan kekesalannya dengan membaca buku, menikmati tidur dan nonton film. Puisi tidak jadi ditulis, padahal penyair adalah pelamun.

Sebagai pelamun, yang artinya orang yang melakukan khayalan ke mana-mana, berangan-angan yang bukan-bukan, penyair mestinya tidak berbingung-bingung ‘bagaimana seharusnya puisi ditulis?’ Tentu pelamun yang kreatif tidak sembarang merenung, terlalu baik akibatnya juga monoton. Fenomena sosial yang unik bahkan ‘menjijikkan’ dibutuhkan seseorang yang berani bergesekan dengannya. Negeri ini butuh lamunan-lamunan kreatif. Bahkan, buat aparat negara itu (yang korup) muak dengan lamunan-lamunan. Kita lihat, siapa yang bertahan; apakah pelamun atau penjahat? Kita hidup di era peperangan batin dan jiwa. Maklum Putu Oka Sukanta menulis Perjalanan Penyair (1999) yang berisi sajak-sajak kegelisahan hidup dari balik jeruji besi pada masa Orde Baru. Sepuluh tahun suara kepenyairan Putu dibuat bungkam, kebebasan dan kemanusiaannya dirampas dan tak pernah dikembalikan. Wajar jika Wiji Thukul menulis Bunga dan Tembok. Puisi yang ditulis di Solo antara tahun 1987-1988 berbunyi: seumpama bunga/kami adalah bunga yang/dirontokkan di bumi sendiri//jika kami bunga/engkau adalah tembok/tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan: engkau harus hancur!//dalam keyakinan kami/di mana pun –tirani harus tumbang! (aku masih utuh dan katakata belum binasa, 2006).

Salah satu lamunan penyair terbukti lagi pada Puisi Menolak Korupsi (2013). Ini lamunan jitu dan transparan bahwa puisi menolak kehadiran koruptor. 

Kerja penyair tampaknya masih suka bersilat pena. Acuh ‘apakah menulis bagus atau produktif’, ‘apakah yang akan ditulis bagus atau jelek’. Sebagai karya renungan, mengapa mesti berdalih harus dimuat di media lokal atau nasional, harus menghasilkan puisi tiap hari atau menghasilkan satu puisi dalam setahun. Yang jelas, tidak baik itu ketika tidak menulis sama sekali dan suka ngemeng (plesetan dari ngomong) melulu.  Saya sudah lama tidak menulis puisi. Saya berharap puisi menulis saya. Kini sudah bertahun-tahun lamanya, puisi yang menulis saya tak ada. Saya akan tetap tidak akan menulis, karena masih menunggu puisi yang menggetarkan.

Gowok, 10 Desember 2013