SUDAH 5 tahun, Laili. Kamu tak menginjakkan
kaki di tanahmu yang putih, di desamu yang hijau, di halaman rumahmu yang
ditumbuhi bunga-bunga dandelion dan pohon cemara di sepanjang pagar yang
terpencar. Apa kabarmu sekarang di sana, Kekasih? Barangkali kamu akan pulang
seminggu lagi ke rumah, ke desa kita—iya, batu besar di tubir laut yang pernah
kita jumpai kini sudah tak ada, katanya tertelan dihantam ombak.
Ada banyak yang akan
diceritakan oleh keluargamu jika kamu pulang ke rumah. Begitu pun dengan teman
sebayamu dan orang-orang terdekatmu, mereka semua sudah menyiapkan kerinduan
yang amat panjang—mungkin dapat dianalogikan dengan panjangnya sebuah lautan
atau pohon cemara jika tak ditebang-tebang. Kepulanganmu ke desa sungguh akan
membuat aku lega dan merasa kerinduan kembali ke asal mula di dada mereka.
Ini nyaris beberapa kali
kamu tunda untuk pulang ke desa, bahkan (ini sangat tidak mungkin kalau
orang-orang desa tak mengabarkan keadaanku kepadamu) untuk mendatangiku saja
itu amat rumit rasanya. Laili, pertengahan bulan depan akan ada acara hadrah
dari anak-anak desa. Pernahkah tebersit keinginan dari kepalamu untuk melihat
Ipung membawakan lagu Habibi di panggung? Di lenganmu mungkin
akan merasakan sebuah kenangan menjalar serupa darah, dan kamu ingat aku yang
tak bisa-bisa membawakan lagu Habibi dengan suara indah.
“Andai Ipung dewasa,
sudah kupacari dia. Hahaha. Biar kamu cemburu, Sayang.” Mungkin kamu akan
meledekku begitu dengan gurauan. Tapi aku tetap cemburu Laili; bukankah matamu
terlebih dulu berdialog denganku, bahwa sesungguhnya aku tak ada mendampingimu.
Satu lagi sebenarnya yang
tidak bisa kamu lewatkan selain maraknya hiburan di desa kita; di Jl. Perkutut
Gg. Silaut RT. 04 RW. 33 terdapat perubahan yang tak disengaja. Di sekitar
jalan itu banyak gundukan tanah yang di dalamnya terdapat orang-orang dimakan
celurit. Mungkin kamu sukar percaya, tapi celurit mereka sendiri benar-benar
telah melibas tubuh sendiri. Menolehlah ketika kamu pulang ke desa, menolehlah
ke samping jalan beraspal itu, barangkali kamu akan menemukan sesuatu yang
merindukanmu di sana. Dan rasakan, bila ada aliran darah di lenganmu yang
deras, jangan menoleh ke bagian belakang. Atau jika kamu berjalan ke depan
jangan sampai kamu membalikkan badan.
“SI Laili
kok tidak pulang-pulang ya?” ini adalah pertanyaan Isti, istri tengkulak ikan
bernama Ngar, kebetulan sepulang dari pantai memborong ikan dia berpapasan
dengan ibumu di depan pagar rumahmu.
“Tiap kali
mengunjunginya, dia hanya titip pesan untuk kerabat di rumah. Dan ketika di
suruh pulang, dia menolak. Tidak mengerti dengan anak bungsuku itu,” kata ibumu.
“Suruh pulang dulu,”
tukas Isti. “Laili tidak tahu kan kalau Erna, Hasanah dan Anisa sudah kawin?
Kasihan, siapa tahu dia malu kepingin kawin.” Isti menambah.
Apa yang diucapkan Isti
itu ada maksudnya. Laili, simak baik-baik kalimatku; malamnya, aku tahu ada
yang datang ke rumahmu perihal perjodohan antara kamu dengan anak lelakinya
Isti.
“Waid itu orangnya baik,
pinter lagi. Rumahnya dekat masjid, Li.”
“Dengan cara rumahnya
dekat masjid, dia bisa membahagiakan aku, Ibu?” matamu sendu kala itu.
“Anaknya tengkulak lagi.
Waid adalah satu-satunya anak Ngar dan Isti. Berarti Waid akan jadi tengkulak
yang sukses.”
“Lalu apa yang kamu
tunggu?”
“Ibu jangan terlalu
memaksa.”
“Anisa, Hasanah, Azizah,
dan Erna sudah kawin! Tinggal kamu, Nak. Apa tidak pilu ibu mendengar anak-anak
tetangga bahagia?”
“Laili masih belum bisa
melupakan Imam, Ibu.” Mata kamu kuyu ketika setundun air mata ruah dari matamu.
“Kamu memang tidak bisa
melupakan Imam, Nak. Kamu hanya bisa melatih pikiran untuk berhenti
mengingatnya.”
Kamu terdiam seperti
dibungkam kalimat buntu. Siang itu, ibumu mengunjungimu ke pondok. Ia
bersikukuh dengan cara membujukmu agar menerima lamaran Waid. Kepalamu sebatas
menunduk.
SUATU saat, terjadi percekcokan antara
ayahku dengan ayahmu. Ceritanya begini; ayahku ikut melaut bersama ayahmu,
tahu-tahunya ayahmu berangkat duluan bersama rekan yang lain karena ayahku
belum juga datang sampai adzan subuh berkumandang di masjid waktu itu.
Ayahku merasa dilecehkan.
Terjadilah antara ayahku dan ayahmu sebuah perseteruan.
“Aku tahu Imam sudah
meninggal, dan itu bukan berarti adik memutuskan hubungan Imam dengan cara yang
tidak sopan. Adik pikir aku tidak bisa menyelesaikan pembubaran pertunangan
Imam dengan Laili dengan cara selamatan?” kata ayahku mematangkan suara.
“Cukup jangan teruskan
ambisimu itu. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Imam,
apalagi pertunangannya Imam dengan Laili. Ini salah paham saja karena kakak
tidak ditunggu sewaktu ingin berangkat melaut,” sanggah ayahmu tak kalah matang.
“Ah, mencari alasan.
Bilang saja adik ingin menerima Waid sebagai besanmu. Dasar bangkai!” sergah
ayah. Ia naik pitam.
Ini kali, celurit yang
diwariskan kakek diolok-olok senjata makan tuan. Celurit ayah yang diamukkan ke
arah ayahmu lebih dulu ditepis oleh celurit ayahmu sehingga terpentallah
celurit ayah ke tubuhnya sendiri. Ayah tak kuat bangkit. Dan yang terjadi
adalah…. Ah, mengerikan! Ayah terkapar. Luka di perutnya menyemburkan darah.
Siang garang di pesisir.
Siang garing dengan aroma laut mengirim bau amis dari perut yang bocor. Tak
henti-henti dan tak ada tanda-tanda darah dari perut ayah berhenti mengucur.
Laili, ini kematian terjadi lagi dalam kehidupan ibuku. Ayah menyusulku sebelum
genap 40 hari kematian anaknya. Angin laut mengirimkan kematian ke pelosok
desa, ke rumahku, ke masjid-masjid yang mengumandangkan. Setelah diketahui ayah
meninggal, orang-orang melarikan ayah ke rumah. Malamnya orang-orang berkabung.
Ayahmu lenyap bagai hilang begitu saja.
SEMOGA ini tidak hanya sekadar kabar ke kabar.
Hari ini kamu akan pulang. Jum’at Pahing persis weton shinta kamu datang ke
desa setelah mendengar sebuah kematian (sebenarnya kematian kapan saja terjadi,
tapi tidak mungkin tiap sepekan sekali kalau bukan lantaran celurit!).
Mula-mula kamu menampakkan wajah ceria dengan penuh cerita setiba di rumahmu.
Berlangsung sebelum tujuh hari kematian ayah, pernikahanmu dengan Waid selesai.
Selaksa mendung pun dipindahkan oleh malaikat dari tubir langit ke matamu. Ah!
Ternyata, dulu ayahmu tidak menerima Waid sekadar pura-pura karena ayahmu tidak
enak hati dengan ayah. Dan setelah semuanya berakhir, lihatlah, Laili, ayahmu
bertepuk tangan merayakan kemenangan.
Aku sudah lama mengubur
jasadku ini tapi aku tidak pernah mengubur cintaku padamu, Laili. Aku sudah
tiada dalam kehidupan orang lain, barangkali juga dalam kehidupan kamu. Tapi
aku masih ada ketika kamu tidak melihatku. Sebenarnya aku ada; tidak
pernah pergi. Kata orang, yang mati itu pergi. Nyatanya aku tahu kamu datang ke
kuburanku ketika ayahmu berangkat melaut ke Sepudi. Sementara Waid tak kan
pernah tahu kalau kamu ke sini. Sebab, suamimu tak kan bangun sebelum cahaya
matahari menyergap jendela kamar rumahmu.
PEREMPUAN itu
adalah kamu yang melangkah subtil sambil membawa bunga. Kali ini tidak ada lagi
pembicaraan mengenai kamu yang tak pulang-pulang ke desa, aku juga tidak
memanggil namamu untuk hadir ke desa ini. Kamu yang berjalan menyangkut serakan
daun-daun di pematang kuburan, kamu telah pulang ke rumah yang sebenarnya,
kepada orang yang mencintaimu sampai mati. Di sini, Laili, kamu tancap sebatang
kamboja di pusara kuburku seperti ujung celurit yang merobek perutku kala itu.
Gedung kuning, 10 Mei-24
Desember 2012
Sumber: Koran Merapi 30
Desember 2012